cerpen : Ketika Jelas Berbingkaikan Tanya
KETIKA JELAS BERBINGKAIKAN TANYA
Sore yang dingin nan lembab. Langit baru saja melabuhkan rindunya pada bumi, dengan segenap cinta dan kasih sayang yang dimiliki, ribuan kerinduan terpendam telah tercurahkan, dalam butir-butir tasbih yang terbalut bingkai berkah dan ridhoNya. Hingga mengelokkan segala jagad,dengan keberkahan hijau penyejuk qolbu persembahan teragung….
Ya , Hujan !
Betapa indahnya ketika rindu itu terlabuhkan. Menyejukkan hati yang tengah lama kering akan seorang yang dirindu. Ah, bumi…,langit…, aku teramat iri pada kalian…! kalian mampu melabuhkan rindu itu, dengan kehendak, ridho dan berkahNya. Langit , kau menyejukkan bumi dengan bulir-bulir bening yang suci.
Dan hujan ini, buatku terbawa. Memoryku melayang…, menerawang, terbang menysuri kisah-kisah lalu. Hatiku tengah merindu, merindukan sosok yang memperkenalkanku dengan dunia cinta. Cinta akan sosok manusia yang bukan dari kaumku. Apakah salah jika rasa ini ada??? Aku selalu takut untuk mengakui ini cinta, berbagai hal yang membuatku bingung akan benar atau tidaknya rasa ini…, berbagai pendapat yang mengatakan cinta kepada lawan jenis tanpa ada ikatan suci mendekati zina, lantas…, mauku apakan hatiku? Segala kebingungan ini…, resah ini…, aku ingin selalu menjadi manusia terbaik di hadapan Tuhanku…, ingin selalu lurus di jalanNya…, lantas kenapalah rasa ini menghiasi hari-hariku??? Sedangkan aku sama sekali tak tau menau bagaimana untuk mengelak rasa ini…, bagaimana untuk menepis virus-virus cinta yang selalu membawa sekelebat bayang-bayang sosok yang ku rindukan. Bukankah, cinta ini adalah nikmat teragung bagi makhlukNya??? Lantas bagaimana agar cintaku ini selalu berada dalam mihrabNya…??? Ouch… sungguh membuatku bingung !
Ha…h…
Langit dan bumipun telah memadu kasih, rindu mereka terlabuhkan…, lalu bagaimana denganku??? Apa yang harus ku lakukan untuk meredakan gemuruh kalbu yang merindukan sosoknya. Sedangkan untuk hanya sekedar melukis bayangnya nyata aku tak mampu dan itu tak mungkin, karena jarak yang terlampau jauh. Naufal namanya. Dialah yang tengah mencuri hatiku saat ini, dialah yang selalu menghantui hari-hariku, dia menjangkitiku virus cinta yang entahlah ini indah atau tidak, ini salah atau tidak, dan… ini benar atau tidak…!
Jingga tak begitu tampak karena awan kelabu, tapi aku tau gelap akan segera menyelimuti segala. Enggan ku langkahkan kaki beranjak dari tempat ini, aku masih ingin memandangi langit, dan benar saja ada dua bintang tampak berkelap-kelip, itupun dengan jarak yang saling berjauhan. Aku tersenyum…, aku jadi teringat ketika setahun yang lalu bertemu dengan Naufal di trotoar ketika ada perayaan ultah sekolah. Kami memang sudah lama saling mengenal satu sama lain, bahkan kenal dekat. Malu-malu saat itu, karena ku rasa walaupun belum ada ungkapan tentang cinta satu sama lain, kami sama-sama bisa merasakan getar yang mengusik, mengalun nyanyian merdu.
“Mau kemana???” tanyaku memecah kekakuan. Walaupun sebenarnya butuh waktu yang lama hingga kalimat itu bisa terlontarkan jua.
Dia menggeleng “….hm…, enggak tau nich... . Kemana kira-kira?!” ouch… itu adalah jawaban, pertanyaan sekaligus ajakan !!! dadaku semakin bergrmuruh. Dari logat bicaranya, dia mengajakku jalan. Dan aku…, sebelumnya tak pernah jalan dengan cowok sama sekali. Dan sekarang dengan Naufal…?!
Saat itu rasanya ingin tertawa karena hatiku seperti ada yang gelitik-gelitik. Aku berusaha tenang, agar tak benar-benar menampakkan perasaanku. Dan yaa… sepertinya aku berhasil untuk menyembunyikan kegugupan itu. Dan akhirnya setelah lama agak basa-basi, kami memutuskan untuk mengunjungi bazaar buku berdua. Karena dia mengetahui hobiku yang sangat menyukai novel. Dan lucunya, aku malah mengajukan peraturan…
“Kamu duluan yach…, yang tau tempatnyakan Naufal…” alasanku
“Terus kamu???” dia mengerutkan kening bingung.
Aku cengir, bukannya sok alim…, tapi aku benar-benar takut kalau nantinya ada hal-hal yang tidak sesuai terjadi, bagaimanapun aku masih menyayangi diriku dan itu salah satu caraku.
“Ntar aku di belakangmu. Tenang aja…” dan perkataanku itu membuatnya mengerti, seperti yang telah aku ceritakan, dia memang kenal dekat denganku dan memahamiku. Dia juga sepaham denganku, bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Dia hanya mengangguk dan berjalan jauh di depanku. Hampir saja saat itu aku kehilangan jejak, karena ramainya manusia berseliweran. Jaraknya jauh banget sih…, kayak enggak jalan bareng! Saat itulah hatiku semakin meyakini perasaannya yang tak berbeda sama sekali dengan ku, namun ada keraguan bersemayam.
Memori tentangnya selalu mengeringi setiap jejak langkah kakiku menjejak di atas permukaan bumi ini. Uh, dia benar-benar memperkenalkanku dengan cinta itu. Dia memperkenalkanku dengan kerinduan yang teramat meresahkan jika sehari saja tidak melihatnya. Bahkan dia benar-benar mencuri hatiku yang aku sendiri tak mampu mengelaknya. Entahlah, tak ada seorangpun yang mengetahui perasaanku saat itu. Untuk mengakui aku mencintainya, aku takut dan malu, dan aku memang enggan untuk membagi rasa ini. Hingga perasaan itu ku pendam sendiri, dan itu sungguh memompa darahku dan mengguncang dada membuatnya tak beraturan. Bahkan, tubuh ini pernah bergetar ketika memandang wajahnya atau sekedar melihatnya. Bergetar karena gemuruh kerinduan yang tertahankan. Ah cinta… beginikah??? Bukankah cinta itu selalu indah…??? Sesesak inikah??? Cinta sejati itu menyembuhkan, bukan menyakitkan. Lalu apakah ini cinta sejati??? Iyakah sedini ini cinta sejati itu terasa??? Apakah ini hanya tipu daya saja???
Nuzulul qur’an malam itu, aku menggenggam secarik kertas yang telah tergoreskan tinta membentuk simbol-simbol yang tak asing. Membacanya membuat hatiku berdag-dig-dug tak karuan. Ada rasa indah memenuhi seluruh rongga dalam hatiku. Naufal mengajakku berbuka puasa bersama. Benar saja, kita bertemu di acara perayaan nuzulul qur’an di sekolah, ya… sambil menyelam minum air. Bersyukur banget rasanya bisa jadi panitia saat itu, dan aku menduduki kedudukan yang penting sehingga sering bertemu dengannya selaku ketua. Malu-malu aku memenuhi undangannya, aku hanya tersenyum dan menunduk ketika dia datang dengan bungkusan kado berwarna biru.
“Ini untukmu…, maaf ya hanya sekedar….”
“Terimakasih banyak…, ini lebih dari cukup…” sambutku memutuskan ungkapnya.
Aku memandangnya dengan raut wajah berbinar. Terbata-bata aku mengucapkan terimakasih dan meraih kado itu. Tubuhku bergetar. Ah…, cinta. Beginikah seorang yang dilanda cinta. Bergetar menahan buncah kegembiraan tak tertahankan hingga tubuh bergetar. Saat itu aku sungguh tak bisa menyembunyikan perasaanku, kegugupanku, dan kurasa dia menangkap tingkahku. Dia merasakan apa yang aku rasakan, dan aku yakin diapun seperti itu, tampak dari wajahnya. Aku lebih banyak diam, ku rasa orang yang jatuh cinta itu tak harus di ungkapkan dengan kata-kata. Orang yang jatuh cinta itu punya bahasa sendiri untuk mengungkapkan perasaannya walau hanya saling mendiami. Aku bingung harus mengatakan apa, yang jelas aku merasa akulah orang yang paling bahagia di dunia ini.
“Mmm… Hana…, apa kamu…tau…???” tukasnya kemudian memecah keheningan. Intonasinya serius, membuatku semakin gugup. Ada resah yang melanda. Segala rasa bercampur, apa gerangan yang akan di lontarkannya dengan nada bicara seperti itu. Aku takut kecewa. Rasanya harapku teramat besar akan perasaannya.
Aku menoleh menghadapnya, menunggu kalimat apa yang kemudian akan dilontarkannya.
“Ku rasa kamu tau apa yang akan aku katakan…, tebakan yang ada di benakmu saat ini enggak salah kok…”
Aku mengernyit. Maksudnya???!!! Bagaimankah aku bisa menyimpulkan apa yang akan dikatakannya. Aku sendiripun tak mengerti dengan hatiku. Semuanya bercampur aduk. Walaupun memang ada keyakinan bersemayam.
“Maksudmu???!!!”
“Ya, kurasa semuanya telah jelas, walau tak ada ungkapan satu sama lain…” lanjutnya. Rupanya dia menangkap kebingunganku. Dan sepertinya aku sedikit mengetahui arah pembicaraanya. Dalam hati, aku bersorak gembira, berdebar menunggu momen ungkapannya.
“Hm… terus???”
“Hm…h…” Naufal menghela nafas…, sepertinya dia berusaha mengendalikan gemuruh hatinya. “Terkadang…, seseorang itu harus memiliki tiga hati…” lanjutnya.
“Tiga hati??? Aku bingung dengan apa yang kamu ungkapkan sejak tadi. Maksudmu apa?”
“Ya, hati pertama untuk Alloh SWT. Tuhan kita. Yang kedua untuk Rasululloh SAW. Dan yang terakhir untuk keduniawiaan. Tapi…, kita biasanya hanya memiliki satu hati saja. Yaitu hati yang ke tiga”
“Cinta keduniawian…, yang berarti kehidupan kita hanya disibukkan oleh masalah dunia?!” momen seperti ini adalah salah satu yang mungkin kalau boleh jujur, selalu bisa menyihirku. Naufal selalu mempunyai kejutan dalam setiap kata-kata bijak yang dilontarkannya. Entah berujung bagaimana sehingga orang selalu mau mendengarkannya dengan penuh perhatian agar mengetahui maksudnya. Aku senang bertukar fikiran dengannya.
Dia mengangguk mengiyakan. “Tapi terkadang orang pintar teramat jeli ketika berkehendak. Mereka menjadikan hati yang ke tiga sebagai tangga untuk memperoleh kedua hati itu.”
“Caranya???”
“banyak cara untuk bisa menanam kedua hati tersebut, juga untuk mendapatkan rasa cinta dari keduanya. Biasanya ada satu jalan yang mereka tempuh, yakni jalan Takwa untuk mendapatkan hati yang pertama”
Lagi-lagi aku mengernyit. Aku sama sekali belum menemukan celah sedikitpun dari yang dilontarkannya, “Aku sama sekali belum mengerti arah pembicaraanmu”
“Haha, aku hanya ingin berbagi info saja denganmu, Hana…”
“O-o, ku kira ada….”
“Iya memang ada…, ada udang di balik batu…!” candanya
Uuuuh, di saat yang menegangkan seperti ini dia malah bercanda. Fikiranku tak bisa berfikir jernih. Tapi anehnya aku tak bisa menampakkan kekesalanku !
“Baiklah-baiklah…, lalu hati yang ke dua, mereka bisa mendapatkannya dari amalan-amalan sunnah yang mereka kerjakan. Dan…, termasuk juga dalam hal mencari pasangan…” kalimatnya terputus. Terdengar suara desahan nafasnya perlahan. Dag-dig-dug…, lagi-lagi seperti itu, berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Aku sama sekali tak berani mengatakan apapun. Bibirku terasa kelu dan kaku. Ku biarkan saja kalimat itu tergantung, toh dia akan melanjutkan kalimatnya sebentar lagi.
“Sayyidina Ali Ra. Pernah mengartikan satu do’a agar memperoleh kebahagiaan di dunia akhirat dan agar terhindar dari azab api neraka. Kau taukan do’a itu???”
“A-aku…, i-iya…” jawabku terbata-bata. Do’a sayyidina Ali yang selalu diamalkan ba’da solat (Robbana Atina Fiddunya Hasanah wafil akhiroti Hasanah)
“beliau mengartikannya, bahwa pasangan hidup kitalah yang dimaksud. Artinya, jika pasangan hidup kita baik, maka insyaalloh dia akan menjadi petunjuk bagi kita di saat kita kehilangan arah. Menjadi purnama di saat malam gelap gulita…”
“Yups..., setuju!” responku
“Dan…, maafkan aku jika aku lancing terhadapmu, Hana…”
“Maaf??? Tentang apa?”
“Aku sadar, aku hanya mempunyai hati yang ketiga saja…, aku tak begitu memahami hakikat cinta kepada Sang Maha kuasa, pun kepada sosok manusia sempurna. Aku ingin meraih dua hati itu Hana…, dengan bermodal hati yang ke tiga satu-satunya milikku. Aku sadar, aku bukanlah sosok yang pintar, tapi setidaknya aku mau berusaha untuk memperbaiki diriku. Apa kamu mau membantuku…???”
DEG ! tepat sasaran !!!
“A-aku…???”
“Aku seringkali merindukanmu saat mata ini jauh dari ragamu. Haha, entahlah sejak kapan aku bisa berpuitis seperti ini Hana…, tapi jujur, hatiku hanya menemukanmu, Hana…, aku tau kegundahan itu, benarkah ini cinta ataukah hanya nafsu semata??? Akupun tak memahaminya. Yang aku tau saat ini hanya, mengungkapkan sejujurnya segala yang bisa terungkapkan. Lama sekali rasa ini terpendam, Hana… dan aku sudah tak kuasa menahannya…. Maafkan aku…”
Seketika ditenggelamkannya kepala menunduk. Tak berani menoleh memandangku. Pandangannya tertunduk dalam. Entahlah, aku teramat gembira karena samar itu telah tampak teramat jelas. Tak lagi buram. Namun hatiku masih menyimpan beribu Tanya.
Ku pejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam berusaha mengendalikan buncah kegembiraan. Hati-hati aku mulai menggerakkan bibirku, “Ku rasa sejak awal kamu sudah tau kamu di hatiku. Dan itu sudah cukup sebagai jawabku.”
Apakah salah jika memang rasa ini tak tertahankan dan kami mengungkapkannya? Ya, ada gundah disini, di hati ini. Dan suatu yang ada keraguan itu salahkah??? Namun ada kelegaan ketika hati ini telah membuncahkan beban yang selama ini tertahan. Lalu jika salah, apa yang harus ku lakukan dengan cinta yang Alloh berikan untukku…? Apa yang harus ku perbuat dengan rasa ini???
***
“Hana, ayo pulang ! sudah gelap…, kurasa hujan sebentar lagi turun !” Tukas Anggi teman sekelasku yang menyadarkanku dari lamunan. Ah iya, dua bintang itu sudah tak tampak lagi rupanya. Gumpalan awan tebal menutupi cahanya. Bernostalgia buatku terlampau terlena. Mauku apakan rinduku ini???
Aku teramat merindukan sosokmu Naufal. Entahlah apa yang tengah kau lakukan saat ini. Tapi apa iya, rasaku tak salah ? lakuku tak menentang ?
Lalu apa yang harusku lakukan, segalanya membuatku bingung… . aku sepenuhnya tak memahami hakekat cinta dan mencintai dengan benar…
Meniti…
Dalam derap-derap harap
Jemari-jemari ingin mendekap, menggenggam erat, namun…
Lemah tertahan…
Bayang pada diri, jelas !
Lagu penuh dendang pilu nan cita
Haruskah yakin dalam ragu ???
Waktu fana…
Hati ingin selalu
Pun harapku terpaut selalu
Selama getar nada atas izinNya
Gendewa telah tertancap
Dan…, tenggelam…
Hilang sakit…, warna hadir…
Buram…, namun terang
“Aku tetap di hati…”