Oleh : Jazmina Shofiya

Andi ingat empat tahun silam ketika nenek menutup mata untuk selama-lamanya. Ketika itu, dia baru saja duduk di bangku kelas tiga Tsanawiyah (Mts). Sudah mengerti arti kehilangan, pun, mampu merasakan kesedihan. Sedang Rizki baru saja menyelesaikan ujian akhir nasionalnya di SMA. Ketika mereka derdua, Andi dan Rizki saling berpelukan menangisi kepergian nenek, kakek selalu tersenyum untuk menguatkan mereka. menepuk-nepuk pundak mereka seolah-olah berujar ‘sabarlah’. Tak ada sedikitpun air mata tumpah dari kedua bola mata kakek. Padahal semestinya hatinyalah yang paling remuk redam. Ah, tapi dia tahu kakek hanya menahan air matanya itu, bahkan dia melihat mata kakek yang berkaca-kaca. Namun, beberapa hari setelah pemakaman nenek, sepulang dari sekolah, kakaknya yang bernama Rizki membawa beberapa lembar kertas yang berlipat. Rizki menggenggam kertas itu erat, tapi ada raut keraguan dan takut-takut ketika di berikan kepada kakek. Penasaran, dia ikut mendekat. Kakek menerima kertas itu dengan kedua alis mengernyit, bingung. Rizki hanya menunduk tanpa berujar sepatah katapun.
            “Itu apa, Kek.. ?” tanyanya penasaran.
            “Hmm…h” Kakek mendesah, lalu menggeleng padanya. Kakek memandang Rizki mencoba mencari jawaban. “Ini apaan, Kiy ?”  Kakek memang tak bisa membaca dan menulis. Namun, Rizki masih tak bergeming dari posisinya. Dia terlalu takut, kakek malah akan marah jika mendengar berita yang dibawanya. Dia takut kakek tak memberikannya izin.
            “Kamu saja yang membacakannya untuk kakek, Ndi…” seru kakek sambil menyodorkan lembaran itu. Diapun mulai membacanya satu persatu. Lembaran itu berisi pengumuman beasiswa masuk perguruan tinggi. Dan dari deretan nama-nama yang terdaftar, salah satunya ada terselip nama Rizki. Dia tersenyum dan terkagum-kagum, “Kak Rizki hebat…!” serunya.
Kakek mendekat, “Hebat bagaimana ? apa isinya ?” kakek tampak penasaran.
            “Iya, Kek… disini tertulis kak Rizki dapat beasiswa masuk perguruan tinggi negeri !” jawabnya bangga.
            “Apa itu ?” kening kakek mengernyit, masih tak mengerti.
            “Maksudnya, kak Rizki bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, tanpa biaya. Gratis !” jelasnya penuh semangat.
Seketika itu, tiba-tiba saja kakek bungkam. Tubuhnya sedikit bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia memeluk Rizki. Kakek menangis. Ada bulir-bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya. “Cucuku…cucuku…” lirihnya sambil memeluk dan menepuk-nepuk pundak Rizki. Andi ikut terharu. Kakek menangis. Ya, itu kali pertama mereka melihat kakek menitikkan air mata. Andi tahu, kakeknya itu pasti teramat bangga pada kak Rizkinya.
***
 Diapun ingin merasakan pelukan bangga kakek. Dirabanya isi tas cangklongnya, “nanti…” lirihnya,ada senyum mengembang di wajahnya yang tampan.
            Saat ini, mereka berada di kota. Suasana yang tak biasa bagi Andi dan kakek. Mereka berdua tengah berada di keramaian, di sebuah gedung besar dengan ratusan orang. Duduk di barisan bangku yang entah keberapa. Banyak wajah-wajah yang berseri dengan senyum-senyum lebar, memakai pakaian-pakaian terbaik yang mereka punya, tak terkecuali Andi dan kakek. Bagaimana tidak, ini moment teristimewa bagi kakek. Hari dimana ia bisa menyaksikan cucunya, Rizki,  mengenakan toga setelah empat tahun masa kuliah dilewati. Dia akan menyaksikan cucunya menjadi sarjana. Hatinya bergetar penuh buncah kebahagiaan. Di genggamnya erat tangan Andi yang duduk tepat di sampingnya. Andi menoleh, kakek sama sekali tak mengalihkan pandangannya ke manapun kecuali panggung dimana berdiri deretan orang-orang yang mengenakan toga di hadapannya.
            “Apa kau tahu…?” lirih suara kakek bertanya pada Andi sambil tetap memandang ke depan . Andi diam saja menunggu apa yang akan dikatakan kakeknya.
            “Ketika nenek tahu kalau dia tak bisa memberikan anak dari rahimnya sendiri, dia menangis tiap hari. Tak henti-hentinya minta maaf pada kakek. Dia selalu merasa bersalah. Bahkan pernah juga meminta kakek menikah lagi, tapi kakek tak mau. Kakek tahu, walaupun mereka mengatakan ikhlas, hati itu tak akan pernah benar-benar ikhlas. Akan selalu ada luka dan cemburu, tak ada yang benar-benar bisa membagi cinta ” dia menatap Andi sebentar lalu tersenyum penuh makna. Andi sedikit terkesima, kakek tak biasanya berbicara panjang lebar seperti itu. Andi ikut tersenyum. Kakek kembali memandang ke depan. Bagi Andi, senang sekali memandangi wajah kakek yang berseri, hari ini wajah tua itu tampak penuh semangat. Hari inilah yang dinanti kakek sejak empat tahun lalu.
            “Ketika berjalan-jalan di pasar, kami bertemu dengan ibumu.” Ya, Andi dan Rizki memang bukan cucu kandung kakek dan nenek. Ibu kandung mereka adalah seorang gelandangan miskin, sedangkan ayah mereka, entahlah kemana dan bagaimana kisahnya. Cerita kakek pada mereka, saat bertemu, kondisi ibu mereka sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus kering dan tanpak teramat lelah. Ibu mereka tengah sekarat. Rizki ingat betul kejadian itu. ketika itu usianya sekitar tujuh tahun, sedang Andi masih balita.  Ibu mereka tak sanggup lagi merawat mereka. Jadilah, pasangan kakek-nenek ini yang mengasuh hingga sekarang.
            “Nenek senang sekali ketika dititipkan kalian oleh ibumu, dia sama sekali tak keberatan. Sedangkan kakek sangat khawatir, kakek takut tak bisa menjaga amanah ibumu. Kami bukan orang kaya. Wasiat terakhir ibu kalian adalah ingin melihat kalian bersekolah.” Kakek berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya agar lebih tenang , agaknya dia masih akan melanjutkan nostalgianya dengan Andi. Andi tetap diam mendengarkan.
            Jangan khawatir, rizki setiap hamba sudah ada yang mengatur. Hanya Allah Sang pemberi rizki, bukan kita. Sekarang,  tugas kita menjaga amanah ini dengan baik. Saya yakin mereka akan menjadi anak-anak hebat dan membanggakan---- kata-kata itu yang selalu di ucapkan nenek untuk meredam kekhawatiran kakek. Nenek sangat percaya bahwa pendidikan bisa merubah kita menjadi lebih baik. Maka ia tak pernah lelah bekerja untuk bisa mewujudkan cita-cita mulia ibu kalian. kalian memang anak-anak yang penuh berkah. Kakek dan nenek sama sekali tak punya harta banyak untuk bisa menyekolahkan kalian tinggi-tinggi, tapi Allah selalu mendengar doa kami, mengetahui harapan dan cita-cita nenek yang kuat. Menuntut ilmu itu jihad, dan hanya Allah pemberi rizki itu. kakek dan nenek hanya bisa mendoakan” ada setetes bulir bening di sudut mata kakek ketika mengucapkannya.
            Setelah acara yudisium berlangsung, Rizki segera mencari sosok kakek dan adeknya, Andi. Ada kerinduan yang dalam untuk bertemu mereka. Ketika kedua binarnya telah terlukisi wajah teduh kakek yang juga memandangnya bangga, dia segera berhambur pada kakek. Di peluknya kakek erat. Kakekpun menyambut pelukan Rizki.
            “Terimakasih atas doa-doa yang selalu kakek dan nenek panjatkan…” ujarnya dengan suara serak penuh haru. Kakek mengangguk-angguk. Dia sungguh bangga dengan cucunya itu. “Iya, benar kata nenekmu, Allah Maha kaya. Dialah yang memberi rizki untuk hambanya yang berjihad. Dia yang memberimu bekal untuk menuntut ilmu. Lihatlah, kamu berhasil !” seperti biasa kakek menepuk-nepuk pundak Rizki. Rizki melepas pelukan kakek. Kali ini di pandangnya wajah Andi, adek satu-satunya yang berdiri tepat di samping kakeknya. Adeknya yang sedikit bicara itu menyunggingkan senyum indah. “Selamat ya, kak…” tukasnya. Tak menunggu lama, Rizki pun menghamburkan tubuhnya ke Andi. Di peluknya dengan penuh kasih sayang dan dalam keharuan yang tak dapat ditahannya hingga ia meneteskan air mata.
            “Aku tak bisa memberi kakak hadiah yang berharga. Hanya selembar kertas ini saja” Andi mengeluarkan selembar kertas yang masih berlipat rapi dari tas cangklongnya. Penasaran, Rizki melepaskan pelukannya dan meraih kertas itu. kakek ikut mendekat. Andi hanya senyum-senyum saja tak banyak bicara. Kertas yang diberikan Andi padanya persis seperti kertas yang diberikannya pada kakek empat tahun silam. Maka, sebelum dia membuka lembaran itu, dia sudah tau jawabannya. Dia menatap Andi sekali lagi, untuk memastikan kebenaran dugaannya. Andi mengangguk mengiyakan sambil tersenyum.
            “Kenapa ? apa itu ?” kakek mengernyit tak mengerti. Ekspresinya persis seperti empat tahun lalu.
            “Sungguh Maha besar Allah, Kek…! Andi juga akan meneruskan kuliah sepertiku. Gratis !” seru Rizki.
            “Allah…Allah…Allah…” kakek seolah tak mampu berkata apa-apa lagi. Betapa sungguh besar kenikmatan yang dianugrahkan Allah kepadanya dan keluarga kecilnya. Seketika, ia bersujud syukur di tempat itu juga.
***
            Andi benar-benar mendapatkan pelukan kebanggaan dari kakeknya, juga dari kakak tercintanya. Pagi ini, mereka bertiga berziarah ke makam nenek dan ibu mereka. “Nenek benar, kalian berdua adalah anak-anak penuh berkah dan hebat. Nenek pasti akan teramat bangga. Dan kalian harus tahu, kakek dan nenek bisa bertahan itu karena kemuliaan cita-cita ibu kalian. Karena ridhonya, maka Allahpun meridhoi !”
الحمد لله
al-Fadholi, 30 Maret 2014





           
           

serpihan serpihan melati dalam pena . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates