Menjaring Cahaya Oleh-oleh Seminar Nasional “Pembinaan Mental Anak dan Remaja dalam Islam”
Ahad,
12 November 2017
“Apa sesungguhnya yang menjadikanmu
istimewa?”
Mendengar pertanyaan itu, membuatmu
menyadari bahwa ada yang luput tersadari selama ini. Bahwa, kamu seringkali
abai tentang mengenal dirimu sendiri. Lalu, pertanyaan itu membuatmu berpikir
keras, sungguh-sungguh mempertanyakannya pada dirimu. Sedihnya, meskipun telah
berpikir keras, tak kamu temukan keistimewaan yang patut dibanggakan pada
dirimu sendiri. Atau mungkin sebaliknya, tanpa bepikir keraspun, kamu dengan
mudah menyebutkan keahlian-keahlian, berbagai prestasi, kepopuleran yang
menjadikanmu istimewa. Ah, betapa beruntungnya.
Jika kamu sulit menemukan jawaban atas
pertanyaan itu, mungkin butuh belajar syukur lebih keras lagi. Sebab
bagaimanapun juga, kamu istimewa dan pasti memiliki kelebihan yang tak semua
orang lain miliki. Maka jangan minder atau berkecil hati. Tetaplah optimis
terhadap rahmat Alloh yang luasnya tak terbatas.
Jika kamu mudah menemukan
jawabannya, dan bangga pada dirimu sendiri akan semua keistimewaan itu, marilah
dengan sepenuh hati memuji-Nya dan beristighfar memohon ampunan jika terkotori
oleh rasa riak dan sombong. Karena sebanyak apapun kelebihan yang kita punya,
itu adalah karunia Alloh dan atas izin Alloh. Kelebihan-kelebihan itupun
bersifat fana. Dan sebab manusia adalah makhluk yang tak sempurna, maka
kekuranganpun pasti melekat juga.
Maka, apa yang menjadikanmu
istimewa, bukan karena kelebihan dan kekurangan yang ada padamu. Yang
menjadikanmu istimewa adalah sebab kamu adalah manusia itu sendiri. Ya, sebab kita manusia makanya istimewa. Alloh
yang menjadikan manusia lebih istimewa dari makhluk lainnya. Lebih istimewa dari
hewan, tumbuhan, malaikat, jin atau bahkan dari bidadari dan gunuji. Ada nurani
dan akal bersemayam pada jasad, oleh sebab itulah, derajat kita lebih tinggi
dari makhluk lainnya.
Memang, kelebihan dan keterbatasan lekat dari manusia. Tapi, ia
akan menjadi lebih istimewa ketika kita terus bersyukur atas apa adanya diri
kita. Bersyukur dengan apa adanya diri kita bukan berarti terlampau pasrah atas
apa yang diberikanNya tanpa berusaha lebih baik untuk memperbaiki diri. Namun,
bergerak untuk berusaha lebih baik adalah bagian dari kesyukuran itu sendiri.
***
“Masing-masing kita memang memiliki keterbatasan. Tapi, dia yang
bersyukur selalu mampu menjadikan keterbatasan itu sebagai kelebihannya. Mampu
terus berkarya dan berprestasi tanpa banyak mengeluh.” Begitu yang dapat saya simpulkan dari materi yang disampaikan oleh
Dr. Alam Aji Putera, M.Pd seorang praktisi anak berkebutuhan khusus dan leader
yayasan Idayu Malang di acara seminar nasional bertema ‘Pembinaan Mental Anak
dan Remaja dalam Islam’ yang diadakan LSO Tahfidz Qur’an Fakultas Psikologi UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Banyak sekali mereka yang kurang beruntung di luar sana yang terabaikan.
Banyak sekali teman-teman kita yang memiliki keterbatasan fisik namun mereka
tak pernah mengeluh dan tetap berperestasi. Meskipun memiliki keterbatasan,
mereka tetap bisa bersaing dengan kita yang secara fisik sempurna, sehat wal
‘afiyat tak kurang satu apapun. Namun, sedikit sekali ada yang peduli dengan
mereka. sibuk mengurus diri sendiri, sampai lupa berbagi kasih sayang atau
sekedar meraih tangan mereka untuk kita gandeng, lalu berjalan bersisi-sisian
bersama. Mereka yang memiliki keterbatasan fisik seringkali hanya kita pandang
dengan sebelah mata. Lebih memilih menjauh dari pada mendekat. Padahal, sama-sama
manusia, sama-sama memiliki kesempatan untuk kehidupan masa depan.
Rupa-rupanya, kepekaan dalam diri berkurang. Semoga saja tak mematikan nurani.
Bagaimanapun, mereka semua adalah saudara. Semua saudara adalah mereka yang
butuh kita, sekalipun tampak sekali kekurangan yang mereka miliki. Sadarilah
juga bahwa, meskipun secara fisik kita tampak sempurna, kekuranganpun tak luput
dari diri kita. Sebab tak ada manusia sempurna.
Selain Dr. Alam Aji Putera, M.Pd yang banyak berbagi ilmu tentang
teman-teman luar biasa disekitar kita, ada juga ustadz Mukhammad Yahya. Ph.D
selaku dosen fakultas Tarbiyah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang
membagikan cahaya-cahaya ilmu tentang pendidikan anak dan remaja dalam
perspektif ilmu al-Qur’an. Beliau menjelaskan bagaimana visi al-Qur’an dalam
pendidikan anak dan remaja. Ada beberapa surat dalam al-Qur’an yang dikaji
untuk menemukan visi-visi tersebut.
Salah satu surah yang dikaji yaitu surah yusuf. Dalam surah ini,
terdapat kisah seorang ayah dengan anaknya. Yaitu kisah Nabi Yaqub dan putranya
nabi Yusuf. Bahwa gambaran seorang ayah yang baik adalah dia yang layaknya Nabi
Yaqub, yang bisa menjadikan anak-anaknya nyaman berbagi kisah atau apapun
dengannya. Nabi Yaqub adalah sosok ayah sejati yang tak segan dan gengsi
mengungkapkan cinta dan kasih sayang kepada anak-anknya, diapun sosok ayah yang
juga dapat menjadi teman baik bagi Yusuf, putranya. Sebab figur ayah seperti
itulah, Yusuf menjadi anak yang sholeh, baik, dan dekat dengan ayahnya. Ia pun
tak segan menunjukkan rasa cintanya kepada ayahnya sebagaimana yang dilakukan
ayahnya. Berbeda dengan sekarang, bahwa ayah adalah sosok yang cenderung tak
bisa menjadi teman yang nyaman bagi anak-anaknya, bahwa ayah cenderung gengsi
mengungkapkan rasa cinta dan kasih sayangnya terhadap anak-anaknya sehingga
mereka menjadikan sosok ayah adalah sosok yang menakutkan. Perilaku ayah dan
anak yang seperti itu bukanlah perilaku islami.
Maka
ditariklah benang merah, bahwa suami dan ayah yang baik adalah ia yang;
1)
Bisa
menjadi pendengar yang baik bagi istri dan anak-anaknya. Namun, perilaku
seorang ayah yang sering terjadi adalah menganggap apa yang diomongkan istri
dan anak tidak penting. Sehingga, tak ada perhatian yang cukup ketika seorang
istri atau anak-anak bercerita. Hal ini menjadikan mereka tak nyaman dan enggan
untuk berbagi kisah. Seharusnya, seorang suami dan ayah yang baik adalah dia
yang penuh perhatian, dan menjadi pendengar yang baik ketika istri dan anak
bercerita kepadanya. Perhatian ini, bisa membangun kenyamanan dalam keluarga.
2)
Sering-seringlah
berdialog dengan anak-anak. Membangun komunikasi yang baik antara ayah dan anak
akan membentuk pribadi baik pada anak.
3)
Ayah
harus ekstra menunjukkan kasih sayangnya kepada anak. Hal ini juga membuat anak
menjadi pribadi yang baik. Jangan segan dan gengsi menunjukkan rasa cinta dan
kasih sayang secara terang-terangan.
4)
Harus
mengerti karakter anak satu per satu. Sehingga seorang ayah paham bagaimana
berlaku adil terhadap mereka. adil bukan berarti sama, melainkan mampu
menyeimbangkan dan berperilaku sesuai dengan porsi yang dibutuhkan. Ayah pun
harus berlaku positif ketika mendapati anaknya pernah melakukan kesalahan. Ia
tidak akan menyalahkan terus menerus, tetapi memaafkan dan meluruskan, memberi
pemahaman baik sehingga anak tak mengulangi kesalahan yang sama di lain
kesempatan.
Kemudian,
dari surah lainnya yaitu bagaimana menjadi seorang ibu yang baik bagi
anak-anaknya. Figur seorang ummu Musa menjadi rujukan bagi sosok ibu
sejati. Ummu Musa adalah sosok ibu yang tegar hatinya ketika harus rela
melepaskan musa. Demi keselamatan Musa, ia rela memasukkan musa ke dalam peti
dan melepasnya dialiran sungai. Keakhawatiran memang merasukinya, tapi tidak
menjadikannya rapuh dan lemah ketika prajurit-prajurit Firaun menanyainya
tentang anak laki-lakinya. Kisah ini terjadi ketika zaman pemerintahan Firaun,
anak laki-laki tak boleh dibiarkan hidup. Dan demi keselamatan seorang anak,
ibu rela melakukan apa saja.
Sesuatu
yang sering terjadi perihal kesalahan dalam mendidik anak adalah seorang ibu
kadang-kadang tidak memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk berkembang
dan berkreasi. Membuat banyak aturan dan kekangan sebab terlampau khawatir, bisa-bisa
menjadikan kreatifitas anak mati dan
tidak berkembang. Dan anak yang hidupnya terlampau banyak larangan tidak
menutup kemungkinan menjadikannya bandel dan berontak. Maka, beranilah
memberikan kebebasan pada anak untuk berinovasi dalam hidupnya, tentu orang tua
juga harus tetap mengawasi.
Lalu
dalam kisah Luqman al Hakim pada surah Luqman mengisahkan bagaimana metode
mendidik anak yang baik. Luqman sebelum memberi nasihat dan mendidik, telah
Alloh berikan padanya hikmah. Hikmah bermakna keserasian antara apa yang dikata
dengan perilaku. Antara omongan dan perilaku menjadi satu. Hikmah yang ada pada
diri Luqman menjadikannya figur ayah yang bisa menjadi teladan bagi
anak-anaknya. Maka seorang ayah haruslah memiliki hikmah. Harus pula
berperilaku dan befikir positif. Dan untuk menjadi sosok ayah yang senantiasa
berperprilaku dan berfikir positif adalah dengan menjadi pribadi yang
senantiasa bersyukur, tidak banyak mengeluh. Yang terpenting ketika mengajarkan
dan mendidik adalah dengan hati, tidak hanya dengan otak. Mendidik dengan penuh
cinta dan kasih sayang. Karena apa yang disampaikan dari hati, akan sampai dan
diterima pula oleh hati.
Pendidikan
yang paling utama sejak dini agar mental anak menjadi baik adalah dengan
memberi pendidikan al-Qur’an. Pendidikan al-Qur’an yang dimaksud ialah tidak
sebatas membaca dan menghafal saja, akan tetapi memberikan pemahaman yang baik
atas apa saja yang terkandung dalam setiap surah di dalamnya. Ketika pendidikan
spritual dan pendidikan hati telah terpenuhi, barulah menuju pendidikan
ketaqwaan, mengajarkan keimanan dan mengenalkan perilaku baik dan buruk.
Inilah oleh-oleh yang dapat terekam dari mengikuti seminar nasional
bertema ‘Pembinaan Mental Anak dan Remaja dalam Islam’ yang diadakan LSO
Tahfidz Qur’an Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Ahad 12
November 2017. Tentu saja masih banyak kekurangan dan cahaya-cahaya yang luput
terjaring. Meski begitu, semoga ada manfaat dan kebaikan yang didapat dari
ulasan singkat ini. Semoga menjadikan kita lebih peka lagi kepada
saudara-saudara kita, juga menjadi bekal untuk berbenah diri supaya lebih baik.
Agar nanti, ketika berkesempatan menjadi pendidik, ayah, ibu atau apapun, kita
mampu membina anak-anak kita dengan cara-cara islami.
Terakhir,
jika ada pemahaman yang keliru dari apa yang tertulis, mohon maafkanlah.
Oleh:
Jazmina Shofiya
11:18