Sabtu, 06 Juni 2015 


            Mengingat suatu percakapan dengan salah satu teman beberapa hari yang lalu melalui media social BBM. Sebut saja namanya Firmanda Taufiq, teman satu angkatan di jurusan Bahasa dan Sastra Arab fakultas Humaniora UIN Malang. Ia menyelipkan kata-kata motivasi pada tiap kalimatnya agar selalu memiliki jiwa optimis. 

            “Bila kau ingin menjadi orang besar, maka bergurulah dan berkumpullah dengan orang-orang besar.” Katanya 
Aku manggut-manggut setuju mengiyakan. Aku selalu berdoa, berharap ketika tiap kali Allah memberi kesempatan untuk bertemu mereka yang luar biasa, semoga kecipratan berkahnya sehingga bisa mengikuti dan meneruskan jejak perjuangan mereka, menjadi orang besar dan bermanfaat bagi banyak orang. 

Seperti kesempatan bertemu dengan kiyai, budayawan, sastrawan Indonesia  D Zawawi Imron pada Rabu 3 Juni 2015 kemarin di acara seminar dengan tema ‘Islam dan Kebudayaan Nusantara’. Acara yang dilaksanakan di home theater fakultas Humaniora UIN Maliki Malang. Tidak hanya sastrawan D Zawawi Imron saja, tapi juga bersama dosen National University of Singapore, Dr. Azhar Ibrahim, Ph.D dan di moderatori oleh ustadz Dr. Halimi Zuhdi, M.pd. 

            Mereka adalah orang-orang besar dan luar biasa, para pendidik ruh, pelindung fithrah manusia supaya manusia mengenali Tuhannya. Maka kesempatan emas itu tak boleh terlewati. Mereka para guru yang membagi ilmu dengan ikhlas, maka haruslah kita meraup ilmu-ilmu itu. Berguru kepada mereka.

            Sayangnya, aku tak bisa mengikuti seminar sejak awal. Saat aku datang, D Zawawi Imron sudah mulai menebarkan cahaya-cahayanya di seantero ruang. Sejuk…, setiap kalimatnya bertutur hikmah. Beliau melantunkan pepatah Jawa dengan fasih, “Jadilah orang yang bisa merasa, jangan menjadi orang yang merasa bisa.” Tuturnya. Artinya sebagai pelajar, penuntut ilmu, seorang anak, pegawai atau siapapun itu, harus peka terhadap sesuatu. Peka terhadap sekeliling, pintar-pintar merasa hingga kita selalu memiliki kepedulian terhadap sesama. Hingga kita selalu mau untuk terus belajar lebih baik. Bukan menjadi orang yang cuek bebek terhadap apapun lantaran kita merasa bisa. Merasa bisa apapun hingga kita tak membutuhkan siapapun dan memandang rendah orang lain. Itu terlalu sombong, dan kesombongan hanya milik Tuhan semata. 

            “Berpikirlah kamu dengan hati yang jernih, maka kebaikan akan menyelimuti hatimu. Karena hati yang bersih akan melahirkan energy positif untuk orang lain.” Begitu tutur beliau kemudian. Bagiku dan mungkin orang-orang yang ada ditempat itu mengakui bahwa tiap kata yang terucap adalah mutiara kasih yang indah, membuat hati terasa sejuk dan khidamat untuk terus didengarkan. 

            Beliau mengajak untuk kita sama-sama menyadari bahwa pentingnya kembali kepada nilai, yaitu nilai temulia di sisi Tuhan kita, yakni ketakwaan kepadaNya. Dan nilai yang mulia di antara sesama manusia adalah yang paling bagus dan bermanfaat untuk orang lain. 

            Ada dua kemuliaan yang mesti lekat pada manusia, yaitu kemuliaan otak dan kemuliaan hati. Mulia otak artinya memiliki pemikiran yang luas, pengetahuannya banyak. orang-orang yang berilmu. Dan mulia hati yaitu hati yang bersih, tidak memiliki waktu untuk membenci dan marah kepada orang lain. Kemuliaan seseorang bisa tampak dari apa yang ia katakan, jika yang ia katakan kasar, marah-marah, umpat sana-sini, maka ia tak dekat dengan Tuhan.  

            Namun dua kemuliaan itu, kemuliaan otak dan hati tidaklah berarti jika keduanya tak diwujudkan dengan kemuliaan perbuatan. Banyak sekali orang pandai tapi tak menyelesaikan masalah. Begitulah jadinya jika kemuliaan otak dan hati tidak diwujudkan dengan kemuliaan perbuatan.

“Janganlah kau menjadi orang yang pandai, yang tidak bisa menyelesaikan masalah. Janganlah kau menjadi orang pandai yang tidak bisa mengamalkan ilmunya!”

            Tanah Indonesia tempat kita hidup, tanah air kita memiliki limpahan rahmat dari Tuhan. Tanah air yang teramat indah. Dan keindahan tanah air ini harus diurus dengan akhlak yang indah pula, sehingga keindahannya akan selalu selamanya. 

Tentang Islam dan kebudayaan Nusantara. Menurut beliau, kebudayaan itu sendiri adalah yang mungkin bisa disebut dengan urusan dunia. Kebudayaan itu suatu upaya manusia untuk kemaslahatan dan kenikmatan bersama, manfaatnya adalah untuk kebaikan-kebaikan. Fungsinya entah menjadi baik atau tidak, tergantung siapa pelaku budayanya. 

Budaya ibarat sastra yang bisa membuat cinta itu semakin mendalam. Ia memperhalus, memperbaiki, mempermudah sesuatu yang asalanya terasa serba sulit. Contohnya saja, ketika dahulu manusia tak mengenal teknologi, menjadi memakai teknologi. Dahulu, orang-orang yang ingin berhaji membutuhkan waktu yang lama, berbulan-bulan karena yang ada hanya alat transportasi berupa kapal laut saja, atau bahkan sebelum-sebelumnya malah hanya memakai tunggangan hewan sebagai alat transportasi. Oleh karena itu, kita tidak boleh alergi terhadap budaya. Tak boleh terlampau fanatik alias terlalu mempermasalahkan karena tak ada di zaman Nabi, lantas kita tak memperbolehkan dan mengharamkannya. 

Ia memang memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. Sehingga ada yang bisa diadopsi dan ada yang tak bisa diadopsi. Ada kebudayaan yang baik dan ada yang tidak baik. Jadi ketika kebudayaan itu memang baik dan semakin mempermudah untuk manusia, maka tak ada salahnya untuk diambil.  

Adapun untuk menggerakkan kebudayaan, yang harus kita teladani adalah baginda Rasulullah SAW. Beliau bisa merubah zaman jahiliyah yang memiliki kebudayaan yang sangat buruk menjadi kebudayaan islam yang indah, penuh kasih sayang dan mengajak kepada kedamaian-kedamaian. Ciri-ciri keberhasilan Rasulullah adalah keteladanan. Beliau tidak menyuruh orang lain melakukan kebaikan sebelum beliau sendiri melakukannya. Karena, guru yang baik adalah guru yang memberi contoh, tidak hanya memerintah dan menyuruh. Untuk menggerakkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik adalah dengan perbuatan. Tak cukup dengan kata-kata semata. 

“Dubur ayam yang hanya mengeluarkan telur, lebih mulia daripada seorang intelek yang hanya menjanjikan telur. Artinya, seorang intlek seharusnya bukan hanya menjajikan telur tetapi juga membagi-bagikannya.”
“Ketahuilah bahwasanya kecelakaan kebudayaan itu terjadi ketika orang yang berilmu, tidak bisa mengamalkan ilmunya.”

Jadi sebenarnya, Islam menerima kebudayaan. Buktinya adalah dengan adanya perubahan-perubahan yang semakin baik. Seperti  perbaikan gedung-gedung sekolah yang awalnya dahulu hanya dimasjid-masjid sekarang memilki gedung pendidikan khusus, adanya pengeras suara untuk menyerukan azan-azan sebagai seruan untuk sholat, dan lain sebagainya.

Maka kebudayaan itu sangatlah perlu menurut beliau. Kebudayaan yang dibenarkan oleh islam itu adalah yang bermnafaat, yang baik, jika ia merusak moral dan tidak baik, maka itupun tidak bisa dibenarkan. Kebudayaan yang baik juga tercermin dari bahasa. Jika bahasa itu kasar, tidak tertib amburadul, itu menandakan kebuadyaan bangsa itu amburadul pula. 

“Kenapa kita harus mencintai Indonesia ? mencintai nusantara kita ?” atas pertanyaan yang beliau haturkan, beliau menjawabnya sendiri dengan puisi beliau…

Kita minum air Indonesia menjadi darah kita
Kita makan beras dan buah-buahan Indonesia menjadi daging kita
Kita menghirup udara Indonesia menjadi nafas kita
Kita besujud di atas bumi Indonesia berarti bumi Indonesia ini sajadah kita
Kita satu bangsa Asia
Kita mati
Kita akan tidur dalam pelukan bumi Indoesia
Daging kita yang hancur membusuk akan bersatu kembali dengan harumnya bumi Indonesia
Tanah air Indonesia adalah ibunda kita
Kita kencingi, kita beraki bumi Indonesia tidak marah
Dan kalau bumi Indonesia kita Tanami, kita pupuk, kita sirami bumi Indonesia akan membalas dengan panen yang melimpah
Tanah air Indonesia adalah ibunda kita
Siapa mencintainya, jangan mengisinya dengan fitnah, jangan mengisinya dengan permusuhan
Jangan mencipratinya dengan darah.
Isilah bumi Indonesia ini dengan amal sholeh dan kebaktian kepada Tuhan
Tanah air indo adalah sajadah kita, tempat bersujud kepada Allah. 

            Pada akhirnya, beliaupun menutup mutiara kasih ini dengan melantunkan puisi untuk kami semua….
 Puisi "IBU" (Buah Karya D. Zawawi Imron)
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
***

Wallahu a’lam.
Inilah yang mampu kubagikan untuk sahabat-sahabat semuanya. Mencoba merangkai mutiara kasih guru kita D Zawawi Imron menjadi rentetan kata, hingga ia tetap ada, tetap bisa kita baca dan mengingatkan ketika sewaktu-waktu kita terjangkiti lupa.
Jika banyak kekeliruan, itu karena keterbatasan pemahaman pribadi diriku sendiri. Semoga bisa dibenarkan. 

‘Jazmina Shofiya’
19:11
“Semoga barokah”



serpihan serpihan melati dalam pena . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates