Dendang Hati
Selasa, 9 September 2014
Berdiskusi tentang cinta, selalu tak akan selesai. Masing-masing
kita memiliki perspektif sendiri. Bahkan kita memiliki mazhab yang kita
ciptakan sendiri. Tergantung bagaimana rasa yang kita yakini. Tapi,
mendiskusikannya selalu menarik bukan ?!
Beberapa tahun yang lalu, ku harap kau mengingatnya. Atau, tak
apalah kau melupakannya, aku hanya ingin bernostalgia denganmu. Cukup kau
dengarkan saja, atau kau pandangi aku lekat-lekat. Ah, mungkin kau tak bisa
hadirkan diriku pada dua binar matamu dengan nyata karena raga tak mampu
bersua, tapi cobalah kau hadirkan aku pada hatimu. Pandangi bulan itu, karena
bulan yang kau pandangi adalah bulan yang sama tengah ku pandangi. Tolong,
cobalah hadirkan aku pada hatimu, bawa aku ke singgasananya, aku ingin
menyentuhnya. Karena rinduku terlampau dalam.
“Cinta itu senang melihat orang yang dicintainya bahagia.” Begitu petikan akhir di sebuah novel yang pernah kau baca. Aku juga
pernah membacanya. Aku juga pernah menonton filmnya. “Heart”. Ya, kalimat itu
yang tertulis dalam sinopsisnya. Aku ingat, kau bilang, “Cinta memang senang
melihat orang yang dicintainya bahagia, tapi kalau ceritanya, melihat orang
yang dicintainya bahagia dengan orang lain, aku tak yakin dia benar-benar
bahagia. Selalu ada rasa cemburu dan sakit. Aku yakin dia pun punya hasrat
untuk memiliki.”
Pikirku, apa yang kau katakan memang benar. Rasa ingin dicintai dan
memiliki itu manusiawi. Tak ada yang ingin cintanya bertepuk sebelah tangan. Aku
katakan bahwa pernyataan itu benar adanya sambil ku utarakan pendapatku, “Jika
seseorang benar-benar mencintainya dengan tulus, dia tak ingin memaksakan
cintanya. Karena itu, hanya ingin membuat orang yang dicintai merasa sakit.
Bahkan akan merenggut kebahagiaannya.” Mendengar pendapatku seperti itu kau
mengangguk-angguk mengiyakan, walaupun kau akan menambahkan embel-embel
keyakinanmu, bahwa akan selalu ada cemburu dan sakit, akan selalu ada hasrat
untuk memiliki. Begitu seterusnya, hingga waktu terasa cepat berlalu. Sekarang,
aku ingin melanjutkannya walau dengan iring-iringan alphabet dalam tinta.
Aku rasa pendapat kita tak ada yang salah. Cinta jika harus di
definisikan terlalu luas. Masing-masing orang memiliki definisinya sendiri.
Tergantung bagaimana rasa menjelajahi hati. Tergantung keyakinan dan sikap
masing-masing. Ada yang beranggapan cinta adalah anugerah, kebahagiaan, rindu
yang meluap-luap, ketulusan dan keikhlasan, racun, sepi, diam, buta dan seabrek
‘adalah-adalah’ lainnya. Tak ada yang salah, definisi cinta akan selalu
disertai ‘karena’nya sendiri-sendiri.
Dalam perjalanan
rasaku menjelajahi hati, ku temui bahwa saat ini “Cinta senang melihat orang
yang dicintainya bahagia” dengan tak muncul di permukaan. Tak peduli berapa
banyak air mata yang mengalir. Tahukah, air mata adalah sarana rindu, sarana
segala dalam jiwa.
Terkadang, dengan berdiamnya aku disini, akan membuat langkahmu
terringankan, pilumu terobati, bahagiamu terserikan, ibadahmu terkhusyu’kan,
waktumu tak terabaikan. Dengan begitu, bisa jadi kau tak pernah luput
melafazkan namaku dalam doa-doamu, menggantungkan harapmu pada pemilik rasa,
saling bertemu dalam mimpi. Aku ingin kau tahu, aku selalu suka bermimpi.
Karena ketika tak ada dayaku untuk menggapaimu dengan ragaku, saat itulah
ketidakmampuan menjadi mustahil. Aku bisa menggapai dan menggenggammu
erat-erat. Begitulah, kau semakin dekat denganNya. Begitu juga denganku. Kita
saling menjaga dalam doa.
Dengarlah hati…, kenali cintaku.
Diam bukan berarti tak peduli, akan tetapi ia bentuk peduli yang lain.
Bukan berarti tak mencinta, tapi begitulah ia dalam jelajah rasaku. Ingatlah,
pandangan zhohir tak melulu benar sebagaimana yang kau lihat.
Jazmina Shofiya