CATATAN HATI UNTUK CINTA
“karena aku tau, kau teramat lelah”
Ini tentang rasaku terhadapmu…
Aku tau aku sangat
mencintaimu, dan teramat merindukanmu. Tapi, entahlah aku tak bisa menceritakan
dan mengekspresikan bagaimana rasaku saat ini. Aku sungguh ingin menangis, tapi
menangis kenapa?
Kau tau, aku telah
mengenal sosokmu sejak dulu, teramaaaat lama, bahkan mungkin sebelum kau
memperhatikanku sebagaimana mataku mencermati hari-harimu.
Kau benar, rasa
yang dulu dan sekarang itu berbeda. Rasa ketika awal aku mengenalmu. Aku hanya
mengenal namamu saja. Mengenal sosokmu. Ya…,
itu saat-saat yang menggemaskan.
Kesan pertama ketika memperhatikan sosokmu adalah, kau seorang
santri yang baik, tentu saja soleh. Itu di benakku. Aku sering mendengar ceritamu,
dan aku akan temukan kebenaran cerita itu dari sosokmu yang nyata, hingga
perasaan biasa saja itu menjadi perasaan kagum. Setiap kali mendengar cerita tentangmu, aku tak pernah merasa bosan,
bahkan aku tak ingin cerita-ceritamu mempunyai ending. Aku akan sanggup
mendengarkan dengan seksama jika saja tak ada jeda selamanya. Tanpa aku sadari,
hati diam-diam teramat iri pada mereka yang mempunyai dermaga untuk melabuhkan
rindu, betapa mereka sangat beruntung. Diam-diam hatiku berbisik…, semoga
aku mendapatkan sosok yang soleh sepertimu.
Maka, ketika aku menemukan sebuah ungkapan, tepatnya tafsir ayat
al-qur’an yang mengatakan; _orang mulia-hanya untuk orang mulia, dan orang yang
hina hanya untuk orang yang hina_, aku teramat takut termasuk dalam
golongan orang yang hina. Aku ingin menjadi sosok yang mulia. Tapi aku sadar
ketika mengharapkan sosok diri mulia agar mendapatkan pasangan mulia, hanya sebatas
itulah yang akan aku dapatkan nantinya. Karena apapun itu, tergantung niat. Apapun
yang dilakukan akan sampai kepada apa yang diniatkan. Mestinya, harus dengan
niat mengharap keridhoanNya saja. Karena hanya orang-orang dalam golongan
itulah yang akan mendapatkan syurga. Hanya merekalah yang akan menikmati
kebahagiaan sejati dalam keabadian.
Kemudian, akupun benar-benar terkesima dengan ungkapan ini; “Jika
kau ingin mendapatkan sosok yang mulia dan soleh atau solehah, maka perbaikilah
dari dirimu sendiri, karena siapapun pasanganmu kelak, dia adalah cerminan dari
dirimu sendiri.”
Aduhai…,
Sungguh kata-kata yang melenakan hati. Maka, aku optimis untuk
selalu berbuat baik. Namun, Sekali lagi
aku sadar, apapun yang kita harapkan dan niatkan selain karenaNya akan sampai pada
sebatas itu saja. Entahlah, aku selalu berusaha atau tidak untuk hanya
mengharap keridhoanNya, mungkin terlalu naïf , jika aku selalu merasa berniat
untuk hanya mengharapkan keridhoanNya. Karena hatiku belum suci sebagaimana
hati-hati mereka yang teramat dekat denganNya. Masih terlampau banyak
bintik-bintik hitam yang menodai hati ini. Tak bisa menopang kuat iman ketika
ada godaan dan ujian. Sungguh terlalu lemah ! dan aku teramat takut akan hal
itu. Bagaimana sesungguhnya membersihkan hati ini…???
Pasti kau pernah dengar, bahwa hanya akan ada tiga golongan kelak
di akhirat, dan dari tiga golongan itu, hanya ada satu golongan saja yang masuk
syurga. Golongan pertama yaitu golongan yang beribadah dan melakukan amal soleh
karena mengharapkan pujian dari orang lain (riak), maka golongan itu difonis
masuk ke neraka. Kemudian, golongan kedua yaitu mereka yang beribadah dan
beramal soleh namun karena pamrih. Seperti, mereka beribadah solat Duha’ karena
ingin tetap mengalir rizkinya, mengamalkan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu,
maka golongan itupun difonis sebagaimana golongan pertama. Golongan terakhir
adalah mereka yang melakukan ibadah dan beramal soleh semata-mata karena
mengharap keridhoanNya, mereka itulah yang masuk syurga. Sungguh, aku teramat
takut jika termasuk dalam golongan yang pertama dan kedua. Tapi apakah pantas…?
(Ya, Alloh hanya rahmatMulah yang menjadikan kami selamat di dunia dan
akhiratMu…, rahmatilah kami ya, Alloh… Aaamiiin)
Ya…, aku berusaha untuk menjadi sosok yang taat beribadah waktu
demi waktu, ingin tetap selalu melangkah dalam jalan lurusNya.
Awal aku berbicara
denganmu adalah ketika menyampaikan pesan sahabatku untukmu. Tadinya aku malu
untuk menyampaikannya, tapi, karena ada kesempatan, akhirnya akupun
menyampaikannya. Lega sekali rasanya bisa menyampaikan amanah itu. Aku bisa
berbicara denganmu walau sebentar, saat itu memang tak begitu ku hiraukan,
karena rasaku saat itu hanya sebatas rasa bangga terhadapmu.
Kau…, entah
darimana banyak mengenalku. Entah dari mana, yang jelas apapun yang kau katakan
tentang diriku saat itu, semuanya benar. Aku semakin mengagumimu. Dan tak lama
cinta itu benar-benar bersemi indah di hatiku. Terus terang, aku takut jatuh
cinta kepadamu. Maka seiring indahnya cinta yang kau perkenalkan, maka sesakit
itu pula hatiku menahan segala rasaku. Segala gejolak kerinduanku. Sering aku
mencoba memalingkan rasaku, tapi sungguh tak bisa.
Dan kini…, aku benar-benar tak bisa menahan rasaku. Aku tak bisa
membohongi diriku sendiri. Entah kenapa, kau seperti menjelma menjadi bagian
kutub magnet yang berlawanan dari kutubku, hingga aku tak kuasa untuk
melepaskan diri. Aku memang mencintaimu. Apa yang kau ragukan. Apa lagi
bukti yang harus aku ajukan untuk meyakinkanmu terhadap rasaku?
Aku tau, kau merasakan hal yang sama. Karena aku teramat
mengenalmu. Akupun enggan untuk berpaling dari cintamu. Aku hidup…dengan
diriku. Dan aku masih sangat minim mengenal diriku. Maka agamaku masih sangat
sedikit ku ketahui begitu pula kupahami dengan baik. Entah bagaiamana kesanmu
terhadapku dan diriku, itu terserah penilaianmu. Aku tak sekuat dirimu untuk
melewati kehidupan dengan bijak. Hatiku terlalu ciut mengenal hal-hal yang
baru. Terlalu pengecut menentang orang lain atau menantang badai. Aku sungguh
penakut.
Aku bukanlah wanita perkasa nan istimewa layaknya Siti Khodijah,
atau wanita cerdas nan sempurna layaknya Siti Aishah, atau bukan pula wanita
suci berhati lembut yang penuh kasih sayang layaknya Siti Fatimah yang
senantiasa menjadi penyejuk mata, penenang jiwa, pemilik cinta yang luar biasa
bagi terkasih mereka. Walau sungguh aku teramat ingin seperti mereka yang
mencintai karena Allah. Namun, Jika aku
sudah tak mampu menjadi penyejuk mata dan penenang jiwa untukmu, tak mampu lagi
menjadi air untuk menyirami api di hatimu, tak ada lagi dayaku. Aku belum berhasil
menggapai dan merangkulmu, tak berhasil menenangkanmu lagi…, aku merasa telah hilang
darimu. Kau berhak berkelana, atau
mungkin kau hanya perlu istirahat sejenak untuk menemukan lagi hatimu yang
hilang, bahkan mungkin dengan istirahatmu kau menemukan kejujuran hatimu. Apakah
aku masih ada dalam rasamu? dalam hatimu?
Sejujurnya, aku cemburu mendengar kisah kehidupan barumu di dunia
yang berbeda. Mengenal mereka dan menyapanya, itu wajar saja, bukan…? Kita
bermasyarakat apa sepantasnya aku mengekang kekerabatanmu? Tidak! Karena ini
dunia yang tak bisa kau mengelak darinya sedikitpun. Maafkan aku.
Cemburuku benar adanya, tapi hidupmu memang seperti itu nantinya…,
begitu juga denganku. Maka jangan hiraukan aku.
Jika kau cemburu karena sikapku, kau sama sekali tak salah. Kau
benar, caraku yang terlalu pengecut akan kemungkinan hal-hal yang belum tentu
terjadi di duniaku. Wajar saja kau cemburu, karena kelambananku mengelola
hatiku untukmu.
Maafkan aku…