Gelap, tapi bukan gelap malam.

            Awan tengah menyembunyikan matahari di balik jubahnya, sengaja ingin membuat mendung katanya. Maka jadilah, siang ini gelap, tapi bukan gelap malam. Ku cermati dari balik kaca, disana ada kawanan awan yang berarak. Sesekali gemuruh berseru di baliknya.

Ah, listrikpun mati. Membuat suasana semakin sunyi. Tak ada bising suara mesin, hanya helaku yang terdengar jelas. Di sana sini angin berhembus, mengajak rerumputan dan dahan-dahan bergoyang. “Wush…” begitu ku taksir suara angin ini, tapi tak persis. Entahlah, tasbihnya lebih indah dari apa yang terdeskripsi.
 
Sebentar lagi, sebentar lagi…

Aku memang menungguinya. Barangkali, aku rindu mendengar gemericik air berjatuhan, rindu kawanan kaki berjingkrak bekecipak-cipak pada genangan air yang menyatu dengan permukaan bumi, rindu kasih kekasih yang berlarian mesra saling melindungi, rindu lukisan payung mengembang dimana-mana. Begitu..., seperti itu barangkali. Tapi aku tetap disini, berdiam pada ruang kosong yang menggema. Sempurna sepi ini ku rasa. Kau tahu, mungkin inilah suasana romantis yang mereka katakan itu, semua serba terbingkai keindahan.

            Sempurna. Tetes-tetes pertama mulai menyapa bumi. Aku, seorang pencermat di balik kaca. Walau tak ada bias cahaya terpantul pada rerintik hingga tak menghadirkan pelangi, aku tetap menikmatinya. Ini hujan pertama, gemericiknya menyentuh hati, membalut rasa dengan kesyahduan. Gersangnya bumi sudah tersirami. Ada yang menguap, aroma debu khidmat menggoda hati. Sudah ku bilang, ini romantis. Lalu, kenapa nelangsa ? Aku bertanya pada sepasang mata sendu yang terpantul samar pada kaca itu.
 
Kau harus tahu,

            Langit sebenarnya memiliki kekasih, Bumi namanya. Dahulu, mereka bersatu, selalu bersama-sama. Hingga suatu waktu, sekenario Tuhan menakdirkan mereka harus saling berjauhan. Langit berada jauh di atas sana, sedangkan Bumi berjuta-juta ribu jauh di bawahnya. Sempurna, mereka tak lagi bersatu. Bagaimanalah pilunya hati ketika sepasang kekasih yang saling mencinta tak lagi dapat menyatu. Kerinduan akan meraja lela, seakan separuh hidup mereka telah menghilang, atau saking menyakitkannya ia menjadi mati rasa. Seperti jasad yang tak lagi tersemayami nyawa. Tapi, Langit dan Bumi tak begitu, mereka memilih untuk menerima takdir Tuhan mereka dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Tentu saja cinta itu selalu ada, rindupun tak hilang. Bahkan cinta dan kerinduan mereka semakin besar, bertambah setiap waktu. Bagaimanapun mereka harus taat, Tuhan mereka lebih mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. sekenarioNya tak memiliki cela sedikitpun.

            Hujan ini adalah sarana perjumpaan mereka. Sarana rindu untuk berlabuh. Pada tiap tetes yang terjatuh, mereka membawa ribuan cinta dan kerinduan, bertasbih dengan penuh suka cita. Mereka sepasang kekasih yang tak menyatu, tapi mereka tak berlarut-larut dalam ratapan duka lara. Justru mereka selalu berbahagia.

Lihatlah…

Hijau terhampar indah nan subur, air tak pernah henti mengalir. Itulah buah cinta dan kerinduan mereka. Sesungguhnya, mereka bahagia. Selalu berbahagia. Zohir hanya memandang permukaan saja, hingga timbul terka dalam sangka. kebahagiaan hanya soal rasa, ada pada diri sendiri. Walau terkadang orang lain menganggap sebaliknya. Ia tak tercermin di dinding zohir semata. Begitu, begitulah….

            Akhirnya, aku ceritakan juga kisah cinta mereka padamu. kisah cinta yang indah, bukan ? setidaknya diantara kisah percintaan yang tak menyatu, kisah inilah yang tak berakhir tragedi memilukan.
Ah, tapi kau sama sekali tak bereaksi. Kenapa kau tetap memandangku begitu ? Terlalu nelangsa. Mata itu terlalu kesepian. Jangan-jangan begitulah hatimu sekarang… 

Kau iri pada langit dan bumi ? atau barangkali kau protes karena langit dan bumi bukanlah manusia seperti dirimu, maka mereka sama sekali tak tahu menahu rasamu atau tak bisa disamakan dengan dirimu ?

Oh, ternyata benar…

Ku kira, kau tak tahan dengan aroma debu yang menguap karena ia menyesakkanmu, tapi ternyata perkaranya jauh lebih serius.

Baik, harus berapa kali ku utarakan bahwa banyak hikmah yang terserak dan belum tersibak. Kau. Manusia mesti pintar dan piawai mengumpulkannya, karena ada akal pada dirinya.

Sudah, nikmati semua yang terasa. Bersyukur karena kau masih bisa merasa. Sebenarnya, kau tak akan pernah kesepian, karena selalu ada Dia yang menemani. Tak usah khawatir karena rindumu tak jua terlabuhkan. Sejatinya, ia akan berlabuh jika waktunya telah tiba. Walau butuh proses yang tak sebentar, hingga sampailah ia di dermaga yang kau nanti itu. maka, yang harus kau lakukan sekarang adalah memenej baik-baik bekal, bagian dari proses menuju dermagamu. Jika sudah begitu, bukti cintamu tak akan kalah dahsyat dengan keindahan bukti cinta milik langit dan bumi.

Gelap, tapi bukan gelap malam. Listrikpun mati. Sunyi sepi, tak ada bising suara mesin. Masih jelas terdengar helaan nafasku. Aku masih di ruang kosong menggema. Menjadi seorang pencermat di balik kaca. Tersadar, aku sendiri di ruang ini.
Dan…
Sepasang mata sendu yang terpantul samar pada kaca itu adalah mataku. 


Jazmina Shofiya
Sabtu, 25 Oktober 2014
‘Ketika rintik pertama menyentuh permukaan bumi Arema’

serpihan serpihan melati dalam pena . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates