Cermin
Jum’at, 9 Januari 2015
Tak terumpamakan.
Aku adalah aku dan kamu adalah kamu. Hingga kapanpun semua tak akan tertukar. kau
mungkin mampu menjelmakan dia, karena tiap helaan nafasmu tak pernah berhenti
tuk bergerak. Tak pernah diam, hingga kau bahkan menjadi lebih cemerlang
dari dia. Lalu, cahayamu terang
benderang. Mampu menerangi tiap sudut gelap dimanapun dan kapanpun. Aku iri,
tapi tak ada seorangpun yang lebih menyedihkan dari pada ke-iri-an ku.
***
Kali ini, ku ceritakan
tentang seseorang yang selalu melupakan cermin. Dia perempuan yang unik---Ah,
aku tak tahu bahasa yang lebih halus dari kata itu untuk mendeskripsikan
keanehannya karena bahkan sebenarnya dia adalah perempuan yang amat menyedihkan---.
Kenapa aku sebut dia seperti itu ?! karena dia tak sama seperti perempuan
umumnya. Inti dari keunikannya adalah karena dia perempuan yang selalu
melupakan cermin, seperti yang ku sebutkan pada kalimat awal paragraph kedua
ini.
Perempuan selalu identik
dengan cermin, bukan ?! seolah itu adalah separuh dari hidup mereka. dimanapun
mesti bercermin. Mematut-matut diri di depan cermin berkali-kali. Kaca jendela,
kaca mobil dan apapun yang sejenis dengan itu bisa menjadi cermin dadakan dimanapun
mereka menjumpainya. Saking familiarnya perempuan itu diidentikkan dengan
cermin, orang-orang Arab pun menyebut perempuan dalam bahasa Arab adalah Mar’ah,
satu akar kata dengan kata Mir’ah yang berarti cermin. Tapi ku beri tahu, tidak
dengan perempuan yang satu ini.
Tak bersahabat dengan cermin bukan berarti penampilannya tak indah,
tak menarik dan tak rapi. Dia bahkan sangat menjunjung tinggi penampilan dan
kerapian. Kecantikan baginya nomer satu yang mesti di perhitungkan. Dalam benaknya
dialah tercantik, jadi tak perlu memakai cermin. Dan aku, mengiyakan. Lalu dia
ter rapi, akupun mengiyakan. Ya… ya… itu semua tak diragukan dengan ada atau
tanpa cermin. Kadang, aku seringkali mendengar suara angkuhnya, “Aku takut,
ketika aku melihat diriku di cermin nanti, aku malah menjadi tinggi hati. Itulah
sebabnya aku menghindarinya.” Ya, aku akui itu mulia. Namun, dengan mendengarnya
berkata begitu, aku malah berpikir bahwa kadang-kadang niat baik itu akan
berbanding terbalik seiring dengan berjalannya waktu. Karena hati manusia,
terlampau tak stabil.
Kawan, bukan melulu tentang penampilan sebenarnya.
Dengan antinya ia terhadap cermin disertai niat mulianya itu, malah
membuatnya melupakan banyak hal. Bahwa sejatinya ia tak pernah merenungi
dirinya, tak pernah sekalipun melihat kekurangan-kekurangan yang ada pada
dirinya, tak pernah benar-benar seksama membersihkan hati miliknya. Cantik yang
ia percaya selama ini hanyalah cantik versi dirinya sendiri dan pada dirinya
sendiri. Padahal tidak begitu sebenarnya. bukankah kecantikan sejati itu tak
melulu pada fisik ? tapi pada keindahan hati.
Inilah yang aku sebut; kadang-kadang, niat baik itu akan
berbanding terbalik seiring dengan berjalannya waktu. Bahasa mudahnya, niat
baik itu berubah menjadi sebaliknya. Awalnya tak ingin tinggi hati, namun dengan
sebab ia ucapkan itulah, menjadikan ia tinggi hati. Ia menjadi tak tahu diri. Lalu
ia larut. Kesombongan dan riak menguasai dirinya, tapi ia tak sadar dan
terkadang tak mau tahu.
Banyak hal yang ia anggap kebaikan menjadi sia-sia sebab ia
terlampau riak. Riak yang tak ia sadari. Tiap jejak-jejak langkah kebaikan yang
ia pijak, lenyap tak bersisa seolah selama ini ia hanya berjalan di pesisir
pantai dan tiap jejaknya tersapu ombak lautan. Tak ada jejak. Lalu, apa yang
akan dibawanya berjumpa dengan Tuhan ?!
Ah, dia baru saja menyadari bahwa ia butuh cermin. Butuh untuk
melihat dirinya, agar ia tahu diri. Ia baru menyadarinya. Lalu, dia izinkan aku
untuk menuliskan kisah perempuan anti cermin ini.
Lihatlah ! sekarang ia meringkuk menangis penuh penyesalan. Benarkah
hanya lelah yang akan ia dapati ? ternyata selama ini ia tak memiliki apapun
yang bisa ia banggakan, ia tak bisa apapun. Dia terus saja tersedu di sudut
ruangan itu. ada penyesalan yang meluap-luap dalam hatinya.
Ku beri tahu,
Kalau bukan karena kamu, mungkin ia tak akan pernah menyadari bahwa
ia butuh cermin. Dan, apa saja yang telah kau katakan padanya itu adalah benar
adanya.
Ya, itu karena kamu. Terimakasih karena sudah mengomelinya. Semoga ia
benar-benar sadar kalau ia butuh cermin karena ia bukan malaikat. Semoga ia
segera kembali dan terus belajar untuk lebih baik.
Kemudian, dalam isaknya sayup-sayup ku dengar suaranya…
“ maaf…maaf…maaf ”
Bahkan, debu pun lebih berarti…
Dari Ku, Jazmina Shofiya