Cerpen : Kelopak Katastrofe
Kelopak Katastrofe
Oleh : Jazmina
Shofiya
Berdebum menggelegar di balik
kolong langit. Terperanjat seluruh jiwa. Pekat. Semua serba gelap. Anginpun tak
lagi semilir. Hanya amukan mengerikan. Ombak bergulung-gulung kelaparan. Ia
ingin memangsa jiwa-jiwa. Menelannya mentah-mentah. Semua bulu roma bergidik,
bersembunyi. Nanar pilu tatap seluruh binar. Tapi tak. Seluruh jasad mesti
keluar melawan badai itu, bukan sembunyi. Memastikan, badai itu tak ganas
hingga mampu ia genggam dengan jari-jemarinya. Ini bukan kiamat. Hidup dan
kehidupan masih harus terus berjalan. Jiwa-jiwa tetap kan terselip pada jasad,
kecuali Tuhan telah merindui ingin bertemu.
Adinda menangis ketakutan. Air
matanya berderai-derai. Deras tak henti-henti. Ia masih bersembunyi di balik
embun. Ah, embun akan menguap, dan ia tak kan dibawa serta. Celaka,
persembunyiannya sia-sia belaka. Bagaimanapun juga jasad mesti keluar, jiwa itu
tak akan melayang kecuali Tuhan merinduinya. Adinda harus tahu itu. Barangkali
dia sudah tahu, tapi ia tak paham. Atau ia memang tak mau tahu. Mungkin saja.
tapi, jika ia tak peduli, kenapa ia mendekap lutut sambil menangis pilu.
Malapetaka itu tak pernah
memberikan tangguh waktu. Datang begitu saja tanpa babibu. Iya, Adinda
tengah tertimpa badai. Badai besar yang sungguh buat ia sakit. Menangis
terus-menerus tak henti. Ia mencoba keluar perlahan, walau air mata itu tetap
tak kuasa ia tahan. Ia mencoba memahami. Sesungguhnya badai itu adalah kiasan.
Analogi saja atas malapetaka yang di timpanya. Tidak usahlah ku ceritakan
dengan detail, biar saja. Toh kau ada ketika badai itu sempurna menerpa.
Kau benar-benar mengkhawatirkan
Adinda saat itu kan ? ingin sekali kau bertemu dengannya, mengusap air mata
yang mengaliri pipinya. Kau sungguh ingin menghiburnya. Kaupun merasa pilu,
bersedih hati, ikut serta merasakan hempasan badai itu. ikut terluka. Begitu
kan ?
Tapi
kau tak memiliki kuasa apapun atas sekat yang terbentang. Hanya gundah hati
disertai bayang wajah menyedihkan Adinda. Lalu kau putuskan untuk menuang
kegundahan pada goresan tinta. Nanti, akan kau sampaikan pada Adinda. Pasti
akan kau sampaikan !
*
Adinda tipe orang yang tak pandai berdongeng. Tak pandai
mengutarakan rasa. Jadi, apapun yang terasa ia pendam saja di hatinya. atau ia
akan mengajak pena dan kertas berbicara leluasa. Jika sudah terlampau berat,
maka air mata yang akan mengalir deras bercucuran. Seperti saat itu. mungkin
terlampau berat, hingga air matanya tak jua berhenti mengalir. Adinda sungguh
merasakan berat yang sangat. Matanya tak jua mampu terpejam. Sudah berkali-kali
ia bujuk air matanya untuk tak lagi mengalir, tapi ia tak menggubris. Tetap
mengalir tak berhenti. Ia juga merayu matanya agar terpejam. Sama. tak jua ia
terlelap. Bagaimanalah, hatinya terlalu sedih dan terluka karena satu serpihan
sayang miliknya pergi. Ya, kakaknya pergi, memisahkan diri dari armada kapal
pada kapten yang sama. Ia pergi begitu saja meninggalkan kapal tanpa pesan dan
kata-kata. Membuat semua armada kapal terluka... kapal menjadi goyah…
Berat…
Ia ingin sekali kau ada di sampingnya. Membiarkannya menangis
menumpahkan segalanya padamu. Dia ingin, kau memberikan bahumu untuk tempatnya
bersandar dan menangis. Walaupun kau hanya diam, itu cukup baginya, dia hanya
ingin kau ada dihadapannya saat itu juga.
Jum’at
dini hari saat itu. menjelang subuh akhirnya ia bisa terlelap. Tahukah, ketika
ia terlelap, Tuhan mengizinkanmu hadir dalam delusinya. Kau menjadi sangat
perkasa, gagah dan pemberani. Tuhan mengizinkan inginnya. Walau tak nyata, tapi
benar adanya.
Dalam delusinya malam itu, Adinda tengah berada dalam sepi.
Sendirian, menangis dan bersedih. Teman-teman menyerukannya untuk pergi dari
tempat itu, karena akan ada bahaya menghampiri. Tapi Adinda tak mau. Entahlah,
ia tak ingin meninggalkan tempat itu. Ia hanya memandang teman-temannya yang
kian menjauh. Berjalan dengan tergesa menghindari bahaya itu.
Hingga
tak lama, ia benar-benar sendiri. Ia sama sekali tak khawatir dengan bahaya
itu. Hatinya terlampau sedih. Tapi tiba-tiba saja, dalam keremangan itu, kau
hadir. Kau mulai mendekatinya, tak ikut pergi. Ia menyuruhmu bersegera pergi
untuk menyelamatkan diri, tapi kamu hanya diam saja tak beranjak. Kamu malah
berkata, “Aku tak akan pergi jika kamu tak bersamaku !” begitu jawabmu. Lalu,
ia memaksamu lagi, tapi tetap saja kau tak beranjak.
“Aku ingin menemanimu. Aku ingin bersamamu. Kamu tak usah takut,
karena kamu tak sendirian. Ikhlaskan semuanya pada Allah saja ya...” tuturmu
halus.
Hadirmu dalam delusinya sungguh membuatnya tak ingin larut dalam
sedih. Kau menghapus air matanya lembut. Sangat lembut. Ia masih menggenggam
harapan. Badai itu kan ia genggam dengan jari jemarinya.
*
Esok paginya, kau benar-benar datang. Kali ini tak pada bayang
delusi, melainkan nyata adanya. Kau menemui Adinda di meja bundar itu. Ia
bergaun biru menawan, sedang kau berjaket abu-abu yang Adinda sukai itu. Gurat
kesedihan masih tampak jelas di wajahnya. Kau pandangi ia. Adinda hanya
menunduk, mencoba tersenyum untukmu ketika sesekali dia mendongak memandangmu.
Dia teramat sumringah dengan hadirmu pagi itu.
Lama. Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut kalian.
Kau tak mengerti harus mengungkapkan apa, begitu juga dengan Adinda. Maka kau
hanya menyodorkan sebuah kertas tanpa kata. Kertas yang tertulisi kegundahan
hatimu karena bayang-bayang kesedihan Adinda. Kau terlalu mengkhawatirkannya,
tapi kau tak berdaya. Kau tak ingin melihat raut kesedihan di wajah Adinda,
begitu tujuanmu.
Adinda menerima kertas itu, membukanya perlahan, lalu mulai
membacanya seksama…
Adinda
tak kuasa menahan keharuannya. Dia merasa apa yang kau tulis sungguh
menggambarkan beban berat yang menyesakkan dadanya, memberatkan tiap
langkahnya. Adinda menangis seketika itu juga di hadapanmu. Menangis tanpa bisa
ia tahan-tahan lagi. Sungguh di benaknya dia ingin utarakan seluruh rasanya,
tetap saja ia tak kuasa. Ia menangis sesenggukan…, sesungguhnya ia malu karena
kau melihatnya menjadi sangat rapuh, sangat cengeng. Sungguh…
Tetap ia mencoba menyelesaikan bacaannya patah-patah… dengan air
mata yang terus mengalir. Kau membingkai setiap kata dalam keindahan dan
ketulusan. Adinda benar-benar bisa merasakannya…
Adinda ingin mengungkapkan terimakasih untukmu, tapi hanya
senggukan tangisnya yang terdengar. Kau memandangnya. Kau tak ingin menghalangi
tangisnya, maka kau biarkan saja semuanya tumpah…
Inilah ia Ketulusanmu dalam tinta itu ;
“Ini rasa tinggal tak
percaya
Bila belahan jiwa depan mata
Hanya terdiam seribu bahasa
Ia lugu namun ku tak
tau-menau
Ini rasa tinggal hanya
Lihat sesal begitu nyata
Tak lagi sanggup bibir
berkata
Tak lagi sanggup mata
menerka
Hanya benci menjulang
bersama
‘stiwa itu memilu semua
Biru kelu kelabu mataku
Memancar hanya air selalu
Saat janur kuning
Muncul menyingsing
Orang dia dari asing
Yang kurasa bukanlah tanding
Dan memang tak sebanding.
Ya, Allah... ,
Desahku
Ini rasa lenyaplah sudah
Tapi,
Inikah takdir,
Inikah qada’ dan qadir
DariMu yang Maha kabir
Buat iman kadang kawatir
Namun doa turutmenggelintir
Teriring benda
berbutir-butir
Tiada akhir
Berharap, moga kawatir
Tak datang lahir
Ini rasa tinggal terima coba
Ikhtiar semu tiada guna
Tinggal tunggal harapan sama
Yakni tuhan yang Maha Esa
Ka’na kuasa tiadalah selama
Aku insan tak berdaya
Ragaku lemah begitu pula
Jiwaku pasrah padaMu jua
Hanya Tuhan kuasa semua
...
Selalu untukmu ku do’a
Tiap waktu moga bahagia
Sampai kelak menutup mata
Amiin, ya Robbal
‘alamiiyna...”
By : Kamu[1]
‘Jum’at pagi, di bawah rerindangan pohon dan embun yang menguap’
Lalu, inilah balasnya…, ia tak semahir engkau merangkai kata dan
membingkainya dengan keindahan. Hanya rangkaian sederhana saling bertautan
walau lepas-lepas.
Adinda menuliskannya hanya untukmu…;
“Lemah, tak sanggup tertahan
Hingga bening menetes jua
Pada ketulusan teduh
pandangnya
Kasih pancaran elok,
hadapnya.
Membuat diri ingin terus
sembunyi
Sebab bersemu tersipu.
Dia selalu di sini
Walau tak selalu terlukis
nyata
Namun tetap !
Ya, Allah...
Terimakasih, karena bening
pandangnya menyejukkan qolbu
Terimakasih, karena pancaran
kasihnya menyejukkan jiwa
Terimakasih, karena gores
tinta ketulusan dari hatinya menghapuskan dukaku.
Syukurku karena
mutiara-mutiara persaudaraan indah yang ku rasa dariMu...”
Ahad, 18 April 2010
‘Terimakasihku untuk segala ketulusanmu’
*
Katastrofe itu masih ada. Namun karenamu, Adinda tak lagi
bersembunyi. Kau tak pernah alpa menanamkan kekuatan dan keyakinan untuknya,
bahwa ia selalu bisa.
Ya. Kau buat ia berdiri tegak walau dalam badai yang mengamuk.
30 Oktober 2014