IZINKAN NOKTAH INI TETAP DI HATINYA

            Senyumku merekah ketika mendengar kabar itu. Aku berlari, tak sabar rasanya menceritakan semuanya ke ibu, beliau pasti senang. Aku akan mendapatkan uang lagi ! ya…, semoga bisa banyak membantu beliau.
***
            Tak satupun warga kampung memungkirinya, bahwa sungguh, suaraku teramat indah dan merdu. Suara yang apabila berdendang membuat semua kan terlena. Aku mengatakan ini semua bukan berarti aku sombong.tapi, itulah kenyataan yang sesungguhnya. Tak sedikit mereka memujiku. Bahkan mereka sering menggodaku, kenapa aku tak mendaftar Indonesian Idol saja….
Huh … Seandainya bisa … dan audisi itu berada dekat di daerahku, kenapa tidak. Tapi apalah dayaku. Aku hanyalah gadis desa yang miskin . Miskin itu … tentu saja tidak mempunyai uang lebih. Hanya mempunyai uang yang cukup sebagai penyambung hidup saja. Makan sekedarnya. Ayah bertahun-tahun bekerja sebagai buruh dan bertahun-tahun pula kehidupan hanya begitu-begitu saja. Tak semakin baik, malah semakin melarat . Hingga keputusan menjadi TKI-lah jalan keluarnya.
            Awalnya  ayah, setiap bulan mengirimi kabar dan meleksanakan kewajibannya, mengirimi kami uang sebagai biaya hidup makanan sehari-hari dan biaya sekolahku. Tetapi, ketika tahun ajaran baru itu tiba, ketika seragam putih- abu telah bangga ku kenakan …. Ibu sering kali gelisah ketika tagihan SPP setiap bulan ku minta. Kata ibu, ayah tak pernah lagi mengirimi kami uang belakangan ini. Kabar beritanyapun lenyap begitu saja . ibu yang saat itu bekerja sebagai tukang cuci tak bisa berbuat apa-apa. Kewalahan beliau mengetuk satu-persatu pintu, meminta belas kasihan, kiranya adakah yang berbaik hati meminjamkannya uang ? atau bahkan…, adakah yang beerbaik hati memberinya sebuah pekerjaan?
Nihil…
Hutang di mana-mana, kabar ayahpun lenyap. Untuk makan sehari-hari tak pernah tiga kali sehari sebagaimana pola makan orang pada umumnya. Dan pekerjaan itu…, yang di harap-harapkan…, sama sekali tak ibu dapatkan. Huh…
            “ Bener, Mbah ?” tanyaku antusias.
            “ Ya, kalau kamu mau. Mbah kan membuat Kamput. Tapi bingung. Belum ada penyanyinya… “ jawabnya sambil sibuk mengelap-elap berbagai gendang dan alat-alat music tradisional lainnya.
            “ Tapi, aku enggak bisa nyanyi, Mbah… “ selorohku.
            “ Kamu saja yang belum mencoba, Sari… . tak ada salahnyakan mencoba ? “
            Aku terdiam, berpikir dan menimang-nimang. Dengan bekerja sebagai penyanyi Kamput, aku bisa membantu ibu. Dan saat itu, aku sudah mempunyai keputusan yang bulat. Tak seorangpun yang boleh mengganggu gugatnya. Walaupun berat, sungguh… .
Tapi demi ibu… ! demi kehidupan yang lebih baik… ! tapi iyakah ??? apakah keputusanku benar… ? aku sendiri tak tau !yang ada di pikiranku hanya , bagaimana aku membantu meringankan beban-beban ibu. Bagaimana membayar hutang ibu yang bertumpuk dan hampir di setiap tetanggaku ada.
            Ibu terdiam. Entah marah atau tidak, aku tak tau ! yang jelas, sejak aku mengutarakan keputusanku Subuh tadi, ibu tak sedikitpun berbicara padaku hingga sore. Membuatku was-was…, hm… sungguh sangat tak nMekkah.
            “ ibu, apakah ibu marah padaku ? “ takut-takut aku bertanya ketika ibu tengah menyapu di halaman depan.
            “…. “ ibu terpaku.
            “ ibu, aku enggak mau kalau harus setiap saat ibu diam saja. Tak jelas marah ataukah tidak , kalaupun ibu keberatan dengan keputusanku, aku tak tau ibu akan berbuat apa untuk agar aku terus sekolah. Pekerjaan tak kunjung ada .tapi, apakah ibu harus selamanya mencari pinjaman di tetangga ? kalau memang begitu, dari mana ibu akan membayar hutang-hutang,bu…” jelasku
“….” Ibu masih diam.
“ibu…, hutang kita di tetangga sudah menumpuk. Itu semua gara-gara aku. dan…ibu bahkan rela tidak makan sehari semalam,
Gara-gara aku…aku tak mau harus terus membebani ibu…” Bulir-bulir bening mulai memburamkan pandanganku.
            Ibu diam mematung menatap kosong entah pada apa. Beliau tak sedikitpun mau memandangku matanya jelas menjelaskan bahwa hatinya tengah dilema. Sesuatu tengah berkecamuk di sana. Namun ibu berusaha tegar dengan tidak menangis sepertiku.
            “ Ibu …,kalaupun harus belajar…, aku bisa belajar dimana saja. Aku bisa meminjam-minjam buku pelajaran  di teman-teman , atau bahkan ke taman bacaan ibu indah …,ijinkan aku membantu ibu dengan menjadi penyanyi,ibu…!”
Walaupun ada keragu-raguan di benakku dengan perkataan belajar. Ah sudahlah aku tak peduli dengan keragu-raguan itu. Sungguh! Aku ingin membantu ibu. Tak kuasa hatiku melihat kaki tua itu tertatih-tatih dengan penuh kerendahan, tak peduli harga dirinya jatuh, tak peduli orang lain memandang rendah dan hina, mengetuk-ngetuk rumah tetangga untuk meminta belas kasih mereka. Tak kuasa hatiku melihat muka tua itu, yang telah keriput dengan lingkaran hitam di sekitar mata akibat kelelahan, tak sedikitpun menikmati dengan santai masa tuanya. Tak mampu mata ini menangkap sinar mata kesusahan, kegundahan dan kesedihan tak tertahankan akibat beban yang tak kunjung berkurang. Beban kehidupan yang kejam, keras…sungguh, walau ibu tak pernah mengeluh… , tak pernah merasa terebabani… , namun dia berhak menikmati keindahan dan kebahagiaan dari-Nya.
            Dan ya…, walau terlihat jelas ada keragu-raguan dan ketidak setujuan atas keputusan yang telah ku ambil dari mata tua itu, namun anggukanpun dilakukannya. Walau tak tulus…, walau tak ikhlas…
***
             Ibu, aku akan segera menyelesaaikan pekerjaan-pekerjaan rumah secepat yang ku bisa. Nanti tentu aku tak bisa membantu banyak! Tekadku.
            “ pelan-pelan, Sar… ! kenapa teruru-buru seperti itu ? “ tanyanya ketika kedatanganku diiringi dengan suara pintu berdebum kareana tak sengaja kakiku menendang daun pintu.
            Aku nyengir, “ maafkan aku, Bu… ! tapi, semua ini, semua pekerjaan ini harus segera ku selesaikan ! “ tukasku sambil memasukkan kayu bakar ke mulut tumpu.
            “ memangnya mau kemana ? ada undangan pernikahan, ya ? “ tanyanya sambil sibuk mengiris-iris kacang panjang. Ibu akan membuat tumisan.
            “ He-eh” aku mengangguk, “ cucian-cucian mana, Bu? Biar ku cuci sekarang ! “ lanjutku.
            “ nanti saja … ! “
            “ Kalau nanti, enggak bisa, Bu… . biar cepat selesai ! “
            “ biar Ibu… ! “
            “ Ibukan capek, dari tadi di dapur… “ aku tersenyum memandang ibu yang keberatan. Ibu memang selalu keberatan kalau aku membantunya. Masalahnya, bukan karena ibu tak mau dibantu. Tapi, ia pernah bilang…
            “ Sari… ,ibu senang kamu membantu Ibu. Tapi, apa tidak berlebihan…? Apa kamu tak merasa, kamu tengah memanjakan ibu ? semua pekerjaan ibu, kamu yang ambil alih. Kamu yang mengerjakannya…, sejak… kamu tak sekolah lagi… ! “
            Dan aku hanya tersenyum simpul tanpa merespon apapun. Ibu, aku telah berjanji untuk meringankan beban ibu. Ingin melihat ibu santai menikmati masa tua…, pengorbanan ibu, untukku jauh lebih besar dari apa yang kulakukan…
            “ Ibukan hanya ---- “
            “ Ibu, sudahlah…. ! biar Sari yang mencuci sekarang, tugas ibu, hanya memberi tauku di mana pakaian yang harus ku cuci …?”jahat ya ??? karena memutus kata-kata yang akan diucapkan ibu , walau tak dengan kasar dan keras. Aku hanya tak ingin ibu lelah.
            Setelah ibu menyerah dan menghela nafas pasrah, diapun menunjukkan tempat pakaian yang harus dicuci. Seketika, setengah berlari aku mengambilnya untuk segera ku cuci. Aku akan segera mencucinya ! sekali lagi ia menghela nafas. Aku hanya tersenyum.
***
            Gendang bertalu-talu, Gong dipukul membuat suara ‘dung’ yang berdengung, diiringi tamborin, seruling dan alat music lainnya sehingga menjadikan music yang berirama, melenakan…, indah nan mempesonakan… . ditambah dengan nyanyianku seiring aluanan music membuat semua penonton semakin larut terbawa suasana, ikut berdendang-dendang ria, pun ikut melenggak-lenggokkan tubuh mereka. Menari-nari sambil sesekali meneguk tuak. Sebagian besar dari mereka tengah mabuk.
            Ah saat latihan saja semua penonton terbawa dan terlena. Aku yakin, besok pasti berjalan dengan baik.
            Mereka semua tak peduli, malam semakin larut. Yuli-pun---- temanku di Kamput, dia sebagai joget/ penari ---- tak henti-hentinya melenggak-lenggokkan tubuh moleknya. Ah aku sudah capek, suaraku sudah hampir habis. Aku menaruh gagang mikrofon memberikan isyarat tangan yang berarti : ‘sebentar’ pada teman-teman kamput yang menatapku heran. Aku hendak mencari Mbah Agung. Sudah larut. Sudah hampir pukul dua pagi. Pasti ibu gelisah menungguku di rumah.
            Ku langkahkan kaki menerobos kerumunan penonton yang tengah menari-nari setengah sadar. Sungguh aku benar-benar takut. Baru kali ini latihan sampai selarut ini. Biasanya paling larut sampai pukul duabelas.
            “ Aduh…! Mbah mana sih…? “ aku was-was.
Teman-teman yang lain melotot jengkel memperhatikanku. Mereka marah karena aku tak bernyanyi lagi.
            “ sebentar… ! “ biskku samil kembali mengisyaratkan tangan.
            “SREET!” seseorang menyeretku dengan keras, membuat lenganku sakit. Budi. Putra tunggal Mbah Agung menyeretku.
            “ kamu mau kemana ? “ tanyanya dengan alis mengernyit.
            “ Mbah mana ? sudah larut. Kenapa tak berhenti saja ! “ tukasku takut-takut.
            “ Mbah pergi ke sahabat lamanya. Sepertinya menginap. Sudahlah…, masih tak terlalu pagi ! “
            “ Bagaimana sih, aku sudah capek. Bagaimana kalau suaraku habis. Aku mau pulang saja ! “
            “ Kamu ini. Bapak pasti membunuhku kalau membiarkanmu pulang sendirian…”
            “….. tapi, ibu pasti hawatir… “ lirihku pelan.
            “ ibumu pasti mengerti. Lihat ! teman-teman pada meletotin kamu tuh…, mereka pasti marah !“
            “ Ah, aku enggak peduli. Aku mau pulang saja ! “
            Budi tampak kebingungan. Menggaruk-gauk kepalanya. Uh…, aku sungguh takut. Mereka semua sudah tak terkendali. Mereka semua sudah seperti orang-orang gila. Aku bergidik, merinding.
            “ ya sudah kalau kamu tak mau mengantarku ! “ hardikku marah sambil berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
            Sebenarnya hatiku sepenuhnya dipenuhi ketakutan. Tapi, ibu ! maafkan aku !maaf telah membuatmu gelisah !
Aku tak peduli gelap di sekelilingku. Yang aku tau, aku harus segera pulang ! harus cepat.
            Suara seseorang berlari di belakangku. Dia mengejarku. Aku semakin merinding….
            Ya Allah…lindungi aku!
            “Sari !tunggu ! Biar aku mengantarmu!”
Suara itu , suara Budi. Huh…aku menghela napas lega. Akhirnya dia mau mengantarku juga.
            “ Kamu ini, kamu mau melihat aku di bunuh oleh keris Bapak , Ya? Yang bener saja pulang sendiri, bagai manapun juga ,Bapak selalu berpesan supaya aku menjagamu kalau dia tak ada. Entahlah, aku atau kamu anaknya. Dia seperti lebih menyayangimu ! “
Omelnya.
Seolah tak mendengar omelannya, aku diam saja. Tak merespon ucapannya. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan. Ternyata dia masih bisa takut melanggar perintah ayahnya, tak peduli ocehannya sepanjang jalan.
            Mbah memang sangat menjagaku, melindungiku, bahkan aku di anak emaskan olehnya. Di jaga ketat. Tak seorangpun yang boleh menggangguku, dan aku tak boleh sedikitpun menyentuh tuak. Mungkin karena hubungan bapak dan Mbah Agung adalah sahabat karib. Tapi…
            He…he…, benar juga. Aku,ataukah Budi yang menjadi anaknya ???
***
            “ Lho, kok berhenti ? “ Tanya Budi jengkel. Raut mukanya tampak marah. Karena akulah yang bersikeras mau diantar sejak tadi,malah berhenti melangkah. Tapi…
            Aku terpaku. Kakiku seolah tak mampu melangkah. Kaku, mematung. Jantungku berdetak kencang. Bagaimana ini? Bahkan untuk menjawab pertanyaan Budi bibirku kelu.
            “ Hei, kenapa ? “ Budi gusar
            ---“… ka-mu…, pulang saja !” tukasku akhirnya. Mendengar penuturanku, Budi tampak menghela nafas dalam.
            “ kamu ini. Tadi, maunya diantar …, sekarang, aku disuruh kembali. Apa-apaan, sih? “
Aku menarik nafas perlahan. Berusaha mengatur pernafasan agar kembali normal.
            “ Hm…. A-aku, baik-baik saja. Sudah dekat juga. Rumahku sudah terlihat ! “ tukasku sekenanya. Karena hanya itulah yang dapat keluar dari mulutku. Hanya kalimat itu.
            “Aku harus memastikan kamu sudah berada bersama ibumu ! “
            Aku mengibas-ibaskan tanganku, menyuruh Budi untuk segera pergi. Mendorong-dorong tubuhnya memaksanya menjauh. Aku mengangguk-angguk meyakinkannya kalau aku tak apa-apa. Ayo, cepatlah pergi. Aku akan menikmati momen ini…
            “ iya-iya ! “ tukasnya sebal dan segera berbalik,berjalan menjauh dengan kesal sambil terus menggerutu.
            Semoga yang kulihat bukan hayal ! bukan mimpi ! ya, Allah…
            Ini nyata ! sama sekali bukan mimpi !
            Senyumku merekah. Dan senyuman ini adalah senyuman yang paling indah, menurutku. Senyumanku yang menunjukkan seluruh rasa yang tak menentu di hatiku. Tapi rasa ini jalas penuh dengan buncah kebahagiaan. Ada nyanyian kegembiraan yang hanya aku yang mendengarnya. Ada dendang cinta berlagu seiring music paling indah yang pernah dimainkan oleh musisi terhebat. Melody-melody mengalun…
Mataku…
            Aku tak boleh berkedip ! aku tak mau pesonanya hilang walau sesaat.namun, entah kenapa, bulir-bulir air mata membuat pandanganku buram. Jangan menangis ! jangan menangis ! aku sungguh bahagia, tapi kenapa aku menangis ?
Ya, Allah itu benar-benar dia ! dia telah kembali ! sosok yang kunanti, sosok yang selama ini ku rindukan !
            Mata itu…, dia menatapku ! dia melihat ku ! dia---mataku…, kami bertatapan ! sontak aku berlari memasuki rumah.
            Detakan jantung yang kencang tak kunjung berdetak normal. Aku terengah-engah seolah telah berlari seratus meter. Aku sungguh tak mengerti, kenapa ku harus berlari ketika mataku dan matanya bersitatap.
            Ibu !
            Aku teringat ibu. Ibu seperti biasa tak mengonci pintu hingga aku bisa masuk. Mataku segera mencari-cari sosoknya. Walaupun anganku masih melayang mengingat kejadian sesaat sebelum memasuki rumah.
            Lupakan ! lupakan !
            Ibu tengah terlelap di atas tikar anMekkah pandan. Aku tau, beliau pasti lama menungguku hingga terlelap.
            “ Ibu… ! “ pelanku usap-usap punggungnya hingga terbangun. Tidak sulit membangunkan ibu, cukup memanggilnya sekali dan mengusap punggungnya, maka dia akan terjaga.
            “ Sari…, sudah larut…, siapa yang mengantarmu pulang ? “ selorohnya ketika kesadarannya mulai pulih.
            “ Budi, Bu…! Ibu masuk saja. Di luar dingin ! “
            Ibu melangkah masuk, begitu juga denganku. Kamarku dan ibu berbeda. Walau hanya rumah bedek kecil, tapi ada empat ruangan yang tersedia.
            Aku merebahkan tubuhku. Sekarang sudah pukul setengah tiga pagi --- cukup untuk dua jam istirahat sebelum harus bangun solat Subuh. Tetapi, ketika mata ini mulai terpejam, tak sedikitpun lelap dan mimpi indah yang ku dapati. Melainkan bayangan sesaat tadi. Ya, hatiku masih tak kunjung tenang. Buncah kebahagiaan semakin melonjak-lonjak, namun membuatku dilema. Mungkin jika aku bisa memperlihatkannya, seperti tak sedikitpun celah kecil yang terselip kesedihan. Pun hanya titik. Tak ada ! semuanya telah dipenuhi rasa indah dan bahagia.
Rinduku….
Ya, Allah sungguh indah !
            Kerinduanku selama bertahun-tahun untuk melihatnya, malam ini benar-benar terbalaskan. Tidak lagi hanya dengan mendengar suaranya melalui handphon atau dengan melihatnya di layar computer. Walau hanya melihatnya dari jauh. Walau tak berbicara padanya…, namun, terimakasih ku ya, Allah… . kau sungguh Maha pengasih telah mengijinkanku untuk melabuhkan rinduku.
            Tujuh tahun berlalu…, hati ini semakin memperindah pahatan namanya. Yusuf ! nikmat Allah yang paling indahlah yang memperindah pahatan-pahatan itu ; cinta. Sosok laki-laki sempurna mencakup kriteria-kriteria perempuan-perempuan pada umumnya. Ya, paras tampannya, sesuai dengan namanya ; Yusuf. Nama seorang Nabi yang mempunyai paras indah-sempurna nan menarik. Yang membuat para wanita yang mengiris buah, ketika meluhat sekilas saja parasnya, tak sadar mengiris jari-jari tangan mereka sendiri.
            Kecerdasannya, kesopanannya, kesholehannya, begitu juga dengan perekonomiannya. Pun garis keturunannya, adalah dari orang tua-orang tua yang baik dan terhormat.
            Ketika aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah, sungguh rasa iri melihat teman-teman yang bersekolah membuat hatiku sedih. Melihat sosok-sosok yang berseragam membuat bulir-bulir air mataku selalu tumpah tiap pagi. Tapi, bagaimanapun, itu adalah keputusanku. Dan satu-satunya jalan untukku. Untuk mendapatkan ilmu dan belajar, aku bisa meminjam buku-buku dari teman-teman. Dan itu benar-benar ku lakukan setiap hari. Yusuf, satu-satunya teman sekelasku ketika aku masih sekolah adalah yang rumahnya paling dekat denganku. Persis di depan rumahku. Hanya terhalang oleh jalan saja. Pada dialah aku meminjam buku, dan dia sangatlah sosok yang pemurah. Memberiku pinjaman buku, menjelaskanku apa yang tidak ku mengerti, juga menceritakanku setiap perkembangan di sekolah. Di bawah pohon beringin yang rindang di dekat sungai, aku dan Yusuf setiap hari menghabiskan sore dengan berdiskusi, bercanda…, dan banyak hal lainnya. Dia sama sekali tak pernah memandangku remeh hanya karena aku adalah seorang yang tak sekolah dan berpropesi sebagai penyanyi Kamput, seperti kebanyakan orang-orang berpendidikan lainnya.
            Namun, saat kelulusan sekolah SMA-nya. Tiba-tiba saja dia tak pernah lagi kudapati duduk sembari membaca buku di bawah pohon beringin. Walau saat itu dia tengah libur. Ketika aku menunggunya, dia tak kunjung datang. Kira-kira selama sebulan. Entah, saat itu aku merasa kehilangan. Untuk ke rumahnya, aku tak berani ! aku takut rumah besar yang gerbangnya tinggi itu nantinya malah jadi kotor. Bisa-bisa, Bu Hajjah dan Pak Haji ---orang tua Yusuf---  marah. Akhirnya aku tetap berkutat dengan kesedihanku terus-menerus. Dan melampiaskannya dengan hanya membaca-baca bukunya. Huh…, melelahkan ! tapi, hanya itulah yang bisa ku perbuat. Ah, itulah awal rinduku bersemayam….
            “ Maafkan aku ! aku tak pernah kesini sejak kemarin-kemarin… “ tukasnya ketika aku baru saja datang dan mendapati dia sudah ada  di sana. Mukanya memelas. Aku malah tersenyum. Aku sama sekali tak marah padanya. Malah melihatnya ada di sini lagi, sedihku sirna.
            “ tak apa-apa, Yusuf ! malah aku senang kamu kemari lagi ! “ tukasku. Aku duduk di sampingnya.
            “ Benar, begitu ? kamu enggak marah ? “
            Aku menggeleng “ memangnya kemana saja selama ini ? “
            “ Aku ada privat Bahasa Arab… “
            “ O…, begitu ! “ aku mengangguk-angguk.
            “ Hm…, Sari, apa kamu tau ?” tukasnya kemudian. Raut wajahnya aneh. Seperti menyembunyikan kesedihan. Aku menatapnya heran. Memandangnya dengan dahi berkerut, eh, tiba-tiba saja ekspresinya makin aneh. Gugup melihatku, dia menunduk.
            “ I- iya. Andai saja kamu tau, les privat membuatku tak bertemu denganmu…”
            “ aku tau…, trus… ? “
            “ kamu tau, a-aku…, me…rindukanmu ! “
            “ ………. “
            Suasana lengang, kaku… . mendengar kalimat terakhirnya… . ah, tak mungkin.
            “ Aku juga merindukanmu ! “ tukasku sambil tertawa lebar mencairkan suasana.
            “ Tapi, maksudku…” Yusuf menggaruk-garuk kepalanya. Raut wajahnya tampak serius, “ Maksudku, kamu enggak tau betapa sakitnya aku memendam semua ini. Sebulan les privat membuatku tak berkonsentrasi. Hanya belajar denganmu yang aku pikirkan.aku berjanji untuk tetap belajar denganmu setiap hari. Tapi…, tanpa ada informasi sebelumnya malah aku tak datang… “ lanjutnya.
            “ Tak apa-apa, itukan karena kamu ada les…” responku sekenanya. Aku masih tak mengerti apa arah pembicaraannya.
            “baiklah…, jujur. Aku selalu membayangkanmu ! aku selalu merindukanmu ! sebelumnya, aku tak pernah merasa seperti ini. Tapi, sebulan tak bertemu denganmu, aku sadar… kalau aku amat tersiksa…, dan a-ku… “
            Lagi-lagi kaku. Dan setidaknya aku mulai tau arah pembicaraannya kemana. Jantungku seketika berdetak kencang. Keringat dingin deras mengalir. Nafasku mulai tak teratur. Aku salah tingkah. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Ada rasa bahagia disini. Di hati.
            “ Tapi, kenapa kamu tak bertanya padaku kenapa aku harus privat Bahasa Arab ?” lanjutnya. Aku tersentak. Benar yang dikatakannya. Apa aku tak merasa aneh…?
            “M…, kenapa ? “
            “Itulah yang memberatkanku untuk mengungkap semua rasa ini. Sakit sekali ! tapi kalau tidak…,
Aku harus pergi, Sari ! aku harus ke Mekkah untuk sekolah dan aku… “
DEG!
Kalimat terakhir itu membuat hatiku tak karuan. Bahagia itu seketika lenyap. Tergantikan oleh kesedihan yang entah darimana menghujam. Air matapun tak kuasa ku tahan…
            “ Aku bingung , Sari. Sebulan tak bertemu denganmu, membuatku rindu yang teramat, apalagi tujuh tahun… “
Tujuh tahun ???
            “ karena aku baru sadar, kalau a-ku…,
            Apakah kamu tak merasakannya ?”
            “…….. “
            “ apa kamu tak merasakan apa yang aku rasakan ? “
            “……. “
            Azan Maghrib, tiba-tiba saja menggema. Memecah lengang. Aku berdiri. Bibirku sama sekali tak mampu mengucap sepatah katapun. Aku berbalik membelakanginya dan melangkah cepat menjauhinya. Aku tak tau kenapa kakiku melangkah meninggalkannya begitu saja, padahal aku ingin bersama-sama dengannya.
            “ Sari ! aku mencintaimu ! “sayup-sayup lirihan suaranya terdengar oleh ku. Dan itu adalah kala terakhir aku bertemu dengannya. Bersama di bawah pohon beringin.
***
            deretan manusia memenuhi jalanan. Anak-anak, orang tua, remaja, hampir semua golongan. Mereka tengah menikmati hiburan kami. Acara pernikahan yang salah satu perayaannya adalah, masyarakat beramai-ramai mengentarkan mempelai wanita dan pria menuju rumah orang tua mempelai wanita.dengan mengenakan  pakaian adat kebaya yang di sebut Nyongkolan. Diiringi dengan Gamelan dan Kamput.
            Di sanalah aku. Bernyanyi sepanjang perjalanan. Melenggak-lenggokkan suaraku mengikuti alunan music. Lihat !
Semua mata mereka berbinar. Wajah-wajah mereka tampak puas. Inilah yang aku suka. Wajah-wajah puas dan terhibur. Mereka terhibur berkat kerja keras yang aku dan teman-teman lakukan. Bahkan tak sedikit masyarakat yang tadinya hanya menonton ikut menari seiring dendangan alat-alat music . mengiringi Yuli yang menari penuh hasrat.
            Kadang aku hawatir melihat Yuli. Takut dan ngeri melihat tangan-tangan usil menyentuhnya.
            “ Tak apa-apa. Kamu harus sadar, semua yang kita kerjakan pasti ada resikonya. Dan itu adalah resikoku sebagai penari. Kamu tenang saja, aku bisa menjaga diri !” tukasnya suatu hari ketika aku mengatakan kalau aku menghawatirkannya. Tapi aku percaya dia sangatlah pandai menjaga dirinya.
            Tak sengaja, ketika tengah menikmati wajah-wajah ceria penonton, mataku tertambat pada sepasang bola mata coklat berbinar. Suhu tubuhku seketika meninggi. Kekuatan yang dahsyat merasuk begitu saja memenuhi sel-sel dan rongga-rongga yang ada pada tubuhku. Memutar kembali memori-memori indah itu. Kata-kata terakhirnya…. Aku tersipu…, segera ku tepis semua bayangan yang hampir membuyarkan konsentrasiku. Mata coklat yang berbinar milik Yusuf…
***
Ada apa ? apa yang akan terjadi ? kenapa tiba-tiba ? Ya, Allah , hatiku sungguh tak tenang. Kenapa tiba-tiba ? ku kira dia telah lupa padaku…, ada apa ?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menyergap hati dan pikiranku. Membuat hatiku tak kunjung tenang. Kebimbangan itu menyeruak. Tubuhku bergetar. Entah kenapa. Aku bahagia, sungguh ! tapi kenapa ada rasa takut yang teramat ? aku sendiri tak tau.
            Sepulang dari sungai, setelah mencuci pakaian, ibu menyambutku dengan tersenyum seperti biasa. Tak lama setelah itu, dia berujar membuat rasa tak menentu di hatiku.
            “ Sari, tadi Yusuf mencarimu. Tapi, karena kamu di sungai, dia berpesan supaya setelah Asar, kamu ke bawah pohon beringin dekat sungai…”
Hatiku memang melonjak girang.berarti dia sama sekali tak melupakanku selama ini. Benar-benar menjadi kejutan bagiku.tapi,kenapa ada rasa takut ?
            Ah, itu dia ! dia di sana . terduduk di bawah pohon beringin. Angin tampak menggeraak-gerakkan rambutnya. Dia sama sekali belum menyadari kedatanganku. Matanya tampak menerawang, entah memikirkan apa. Lagi-lagi, aku gugup. Bingung bagaimana memulai. Hingga aku tetap terpaku mematung dan tak bersuara.
            “ TRAK ” tak sengaja aku menginjak ranting kering hingga patah. Membuatnya menoleh, “ eh, kamu sudah datang rupanya. Kenapa enggak bilang-bilang ?“tukasnya sambil tersenyum. Aku balas tersenyum walau sedikit malu-malu.
            “ Habis, kamu terlihat sedang sibuk. Jadi… “
            “ aku mengingat kenangan-kenangan tujuh tahun lalu. Itu adalah hal terindah, bukan? “
            “He-eh !” aku mengangguk
            Lama terdiam. Kaku dan bingung.
            Tadi, sepanjang perjalanan, aku terus berlatih untuk berbicara dengannya. Begitu banyak hal tabu tentangnya.yang harus aku  tanyakan. Tapi, kenapa ketika berhadapan dengannya… ? ketika menatap matanya… ? semua pertanyaan itu hilang ? lenyap ! tak satupun teringat di otakku.
            “ Aku…, masih selalu mengingatmu! “ tukasnya kemudian
            “ ……… “ Akupun begitu
            “ mungkin aku gombal. Tapi, itulah kenyataanya. Sebenarnya aku tak mau seperti itu. Aku tak mau, cintaku padamu malah lebih besar dari pada cinta kepada Allah. Padahal yang berhak dicintai itu, yang Maha pencinta. Tapi…, entahlah. Aku tak begitu mengerti ! “
            “ ……. “ akupun begitu. Setiapku berdoa, aku selalu memohon supaya cintaku padamu tak lebih besar dari pada cintaku pada-Nya.
            “ Aku tak pernah tau apa sesungguhnya aku di hatimu. Apakah sama atau tidak separti kamu di hatiku. Aku tak tau. Tapi yang aku heran, hatiku tak prnah berubah untukmu. Hatiku tak pernah sedikitpun berpaling walau seribu mata indah mengelilingiku, beribu paras wanita yang mempesonakan. Itulah yang membuatku yakin, kalau kamupun seperti itu. Hati kita sama. Iya, kan ? “ tegasnya
            “ ……..” Keyakinanmu benar.
            “ Kenapa diam saja. Apakah aku salah ? apakah keyakinanku keliru ? “
Apa yang harus aku katakan untuk menjawabnya ? aku takut entah pada siapa,”……….”
            “ bicaralah ! jangan membuatku menunggu lagi! “
            “ A-ku….
            Keyakinanmu sama sekali tak salah ! “
Tukasku akhirnya.seketika raut wajahnya cerah. Dan akupun lega sudah. Sulit sekali mengatakan itu semua. Berat dan menakutkan. Namun, ketika kalimat-kalimat itu terlontar, aku merasa ringan seperti kapas. Solah tali-temali yang telah menjeratku terlepas. Beban-beban lenyap….
            “ benarkah itu ? Ya, Allah…, terimakasih ! “ serunya dengan mengelus-elus dadanya. Aku menunduk tersipu.
            “ karena kamu juga menyayangiku,aku akan melamarmu segera. Maaf, jika kesannya terburu-buru. Tapi, kurasa kita sudah saling mengenal sejak masih kecil. Itu bukanlah waktu yang sedikit. Kamu mau, kan ? “
Melamarku ? secepat itukah ? apa tidak terburu-buru ? bahkan ini, baru saja dua hari berlalu sejak kepulangannya dari Mekkah.
            “ Percayalah padaku. Sungguh. Aku akan katakan kepada ibu dan ayah tentang rencana ini. Pasti mereka setuju. Karena mereka tau kalau aku dan kamu memang akrab sejak kecil. “
Apakah sesederhana dan semudah itu untuk memutuskan menikah ?
Tiba-tiba saja ada keraguan dihatiku.
***
            “ ibu…, apakah aku sudah pantas ? “
            Ibu menoleh menatapku, heran. Namun, pancaran kasih sayangnya amat terasa. Wajah ibu, teduh di balut mukenah. Kami baru saja selesai solat Tahajjud. Sekarang hanya menunggu waktu Subuh tiba.
            Dia mendekatiku. Membelaiku lembut. Entah kenapa, air mataku mengalir. Ada keharuan luar biasa menyergap. Aku menangis sesenggukan.
            “ Kenapa, Sari ? cerita sama ibu…, tak biasanya kamu menangis seperti ini. Yang ibu tau, Sari itu adalah anak yang ceria dan tak pernah mengeluh… . kenapa ? “
            “ Ibu, apakah memutuskan untuk menikah itu sederhana dan mudah ? “
Lama ibu menjawab. Entah ibu sedang merangkai kalimat-kalimat seperti apa untuk menjawabku.
            “ Sari…, menikah itu adalah ibadah. Ada seseorang yang melamarmu, ya ? kamu sudah pantas menikah, kok. Umurmu sudah dua puluh lima tahun. Siapa itu yang menjadi menantu ibu ? “
Aku tak menjawab pertanyaan ibu.
            “ menikah memang keputusan yang harus dipikirkan dengan matang dan penuh perhitungan. Apakah sudah ada kecocokan antara pria dan wanitanya. Harus menerima dengan ikhlas kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kamu harus yakin, bahwa dilah yang pantas untukmu. Dan kamu harus rela menerima resiko. Tak ada jalan yang selalu mulus di dunia ini. Pasti ada banyak sakali arah melintang yang akan kita lewati. Ketika cobaan hadir, bagaimana kita menghadapi cobaan-cobaan itu. Kita harus belajar mengambil hikmah dari semua yang telah kita alami. Tidak hanya memakai emosi. Hingga bahtera rumah tangga tetap terjaga. Jika tak ada cobaan…, bagaimanakah kita tau seberapa keimanan kita kepada Allah… . mampukah kita untuk selalu ber husnuzon kepada-Nya ?
Serumit itukah ?
            “ terlebih wanita. Istri, harus selalu bisa menjadi yang terbaik bagi suaminya. Istri itu, harus bisa membuat suaminya berbahagia, walau hanya sekedar memandang wajahnya. Istri, harus bisa melayani suaminya. Pun istri harus bisa menjadi pendengar yang baik, penghibur yang cekatan, dan banyak lagi. Pokoknya bisa menjadi orang yang paling nyaman untuk suami.
            Beri tau ibu, siapakah orang yang beruntung mendapatkan anak ibu yang cantik ini ? “
            “ ibu, tak usah membuatku begitu berharga. Akulah orang yang beruntung mendapatkan sosoknya, Bu… . aku tak tau Yusuf seorang yang beruntungkah mendapatkan ku ! “
            Ibu memelukku, “ Bagi ibu, dan orang-orang yang menyayangimu, kamu adalah orang yang sangat berharga ! “
            Halus…, kesejukan itu terasa. Bulan merona memancarkan cerahnya cahaya. Terang bersinar di tengah kegelapan. Begitu juga kerlap-kerlip bintang. Indah nan mempesona. Namun, aku mendengar bisik-bisik keirian mereka.mereka iri padaku. Karena kasih sayang ibu  lebih menyejukkan, cahaya cinta ibu lebih terang. Bahkan dapat menerangi kegelapan seluruh dunia.
***
            Lagi-lagi, jantungku berdetak kencang. Nafasku kembali tak teratur. Itulah aku. Selalu takut dan gugup menghadapi sesuatu.suatu kebiasaan yang tak seharusnya dibiarkan. Tapi, siapa sih yang tak gugup di undang oleh calon mertua ? walau belum tentu mereka setuju kalau aku sebagai menantu mereka.
            Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di atas rumah yang dipenuhi bunga-bunga di sekelilingnya.
            “ Ayo. Silahkan duduk ! “ sambut Bu Hajjah ---ibunya Yusuf---- padaku dengan lembut dan ramah.
            “ terimakasih, Bu…” tukasku sambil duduk. Ruangan itu besar, dan ada kaca transparan besar didinding sehingga taman yang ada di halaman jelas terlihat. Jantungku masih berdetak kencang.
            “ sebentar, Yusuf masih memanggil ayahnya. Ibu tak menyangka, ternyata dia memilihmu sebagai calon istrinya…”
            “ M… a-ku…., juga bingung… “ gugup-gugup aku menjawab.
            “ sebenarnya, sejak kapan kalian berhubungan ? kok ibu enggak tau ? ibu sempat kaget, karena tiba-tiba, tadi malam dia mengutarakan kalau  mau menikahimu. Ibu kira kalian berdua hanya teman biasa… “
            Seseorang menyuguhkan teh pada kami dan bersamaan dengan itu, Yusuf dan Pak Haji---ayahnya Yusuf--- datang. Membuatku semakin was-was. Aku merasa seperti narapidana yang diintrogasi.
            “ di minum dulu, silahkan ! “ tawarnya. Aku mengangguk mengiyakan. Pak Haji tiba-tiba saja menghela nafas, “ tadi malam, Yusuf telah berbicara kepadaku dan Umminya. Dan aku katakan padanya untuk mengundangmu kemari. Karena kami tak begitu banyak mengetahui tentangmu. Walaupun kita masih tetanggaan. “
            “ Iya. Kami juga jarang kemari. “
            “ yang kami tau, ibumu adalah seorang tukang cuci, ayahmu menjadi TKI, dan kamu sendiri, menjadi penyanyi kamput, hingga sekolahmu kandas… “
            Mendengar kalimat-kalimat itu…, walaupun tidak dilontarkan dengan kasar dan keras, namun sangat menusuk.
            Yusuf menatap ayahnya ketika aku menatapnya. Dia seperti merasakan ketidaknyamanan sepertiku.
            “ Abi---“
            “ sebentar, ayah belum selesai…!”
            Yusufpun urung berbicara. Aku hanya menunduk.
            “ sekarang. Anakku Yusuf, mau menikah dengan mu. Dia sudah lulus dengan predikat cumlaude di Mekkah. Sedangkan, Sari sendiri, SMA-pun tidak sampai akhir. Malah memelesetkan diri ke kamput. Apakah menurutmu, itu jalan yang lebih baik dari sekolah ? “
            Kalimat-kalimat yang lembut namun sungguh tajam dan menusuk. Aku semakin menenggelamkan wajahku. Rasanya aku ingin menangis.
            Ya, Allah…, jangan sampai air mata ini tumpah !
            “ Ayah, sari itu---- “
            “ aku tak bertanya padamu, Yusuf. Kamukah yang bernama, Sari ? “
Yusuf urung kembali.
            Aku mengumpulkan seluruh keberanian untuk menatap wajah dengan kopiah putih itu, “ sebenarnya memang menurutku mungkin tidak tepat. Tapi, tak ada cara lain. Dan saat itu kondisi ekonomi kami, tak memungkinkan untuk sekolah. Jadi… “
            “ apakah kamu yakin akn KeMaha adilan Allah Swt. , akan kebesaran kasih sayang yang Allah limpahkan kepada hamba-hambanya ? “
Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu ???
            “ yakin ! sangat yakin ! “ jawabku mantap. Aku memang sangat yakin. Kalau tidak yakin, bukankah itu namanya Kafir ?
            “ Tidakkah kamu berpikir, menuntut ilmu itu, seolah sedang berjalan menuju Syurga ? malah, hukumnya wajib. Allah pasti memberikan kemudahan-kemudahan sesulit apapun itu… “
“ …….. “ aku diam saja. Nyaliku kembali menciut. Apa yang harus aku lakukan ? aku seperti dipojokkan.
            “ Ayah, bukankah menuntut ilmu itu tak hanya di sekolah ? bahkan, banyak sekali    yang sekolah tetapi tak menuntut ilmu. Maksudku, status mereka saja yang menjadi anak sekolahan tapi, sekolah hanya untuk main-main saja. Tidak menuntut ilmu. Hanya buang-buang uang ! “ Yusuf mulai emosi.
            Tapi Pak haji seolah tak menghiraukannya. Dia hanya duduk santai, tak menghiraukan rasa sakitku. Bu Haji hanya diam menatapku iba.
            “ Sari, apa menurutmu, menjadi seorang penyanyi kamput itu adalah hal yang baik ? “ aku tak tau, mau menjawab dengan kalimat-kalimat seperti apa. Akupun sering dilanda keragu-raguan akan profesiku. Suara bagi wanita adalah aurat. Itulah yang ku tau. Tapi, salahkah aku ? kalaupun aku tak jadi penyanyi, bagaimana aku dan ibuku hidup?
            “ Ayah… “ lagi-lagi Yusuf yang menjawab, “ apa maksud ayah sebenarnya ? kukira ayah mengundang Sari kesini untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak memojokkannya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu ?! “
            “ Inilah cara ayah mengenalnya lebih dekat, tidak salahkan ? “
            “ jelas salah, Ayah ! “
            “ Ayah, apa tidak keterlaluan ? “ Bu Hajjah berujar.
            “ Diamlah ibu ! “ sergah Pak Haji. Membuat Bu Hajjah kembali diam. Dia mengelus dada. Menatapku prihatin. Seolah pancaran matanya mengucapkan agar aku bersabar.            
            “ Bernyanyi-nyanyi, menari melenggak-lenggok itu seperti zaman Jahiliyah !“
            “ itu tak seburuk yang Ayah pikirkan. Apakah ayah lupa, awal masuk agama islam ke Indonesia adalah seni. Seni gamelan, wayang… . jalaluddin Ar-Rumipun berdakwah dengan tarian-tarian, kasidah-kasidah, lantunan syair--- “
            “ Cukup ! tapi zaman sekarang tidak untuk berdakwah. Malah sarana untuk kemaksiatan. Ayah tetap tak setuju ! bagi ayah, kamu menikah dengan orang lain, atau tetap dengan Sari tanpa persetujuan ayah ! “ gertaknya dan langsung pergi meninggalkan ruang tamu.
Hah…jelaslah sudah…
            Aku diam-menunduk. Air mataku tumpah juga akhirnya. Aku tak kuasa membendungnya. Kalimat-kalimat itu, mencabik-cabik hatiku. Aku merasa terhina. Betapa bodohnya aku ini. Kenapa juga aku merasa pantas menikah dengan Yusuf --- seorang yang berpendidikan dan kaya. Tanpa mengatakan apapun, aku berlari meninggalkan Yusuf dan Bu Hajjah. Menyebrang dan langsung berhamburan ke kamar. Seruan ibu, tak ku hiraukan. Aku menenggelamkan wajahku diantara bantal. Menangis…
            Diluar, sayup-sayup ku dengar intonasi panik Yusuf  menanyakanku pada ibu, tapi aku tak peduli.
            Meskinya sejak awal aku sadar. Aku hanyalah noktah kecil yang tak berharga. Orang-orang berpendidikan selalu memandang sebelah mata pada kaum-kaum yang tak berpendidikan. Menganggap bodoh dan meremehkan kami. Merasa tinggi derajatnya. Tak pernahkah mereka melihat sisi yang lain ? mereka menilai dengan kacamata-kacamata kepintaran dan kekayaan-kekayaan yang melimpah. Benarkah itu ?
Yang ku tau, orang yang berpendidikan akan lebih bijak. Melihat tidak hanya dengan satu kacamata. Melainkan ratusan kacamata. Bahkan, lebih. Lebih menghargai sesama. Hingga seburuk apapun itu, ada saja hikmah yang didapat. Tidak meremehkan. Melainkan mengambil pelajaran-pelajaran. Bukankah, itu sejatinya orang yang berpendidikan ?
Menganggap rendah orang-oraang miskin ? ya. Itulah yang aku tau selama ini. Padahal, harta adalah amanah. Bisa menjadi musibah dan penjerumus yang mencampakkan mereka ke api yang amat dahsyat hingga menjulang ke hati. Lupakah mereka akan hal itu? Lupakah mereka, bahwa mereka termasuk mendustakan hari pembalasan, karena tidak memberi makan orang-orang miskin ?
Ah, iya. Tentu saja karena mereka rajin belajar hingga peluang mereka untuk lupa itu besar.
Ya, Allah…, apakah aku sangat rendah dan hina ? apakah menjadi penyanyi Kamput itu sangat hina ? sungguh. Tak sedikitpun kulitku menyentuh tuak-tuak yang memabukkan. Tak semua orang seburuk yang mereka pikirkan. Malah, yang sering mabuk itu penonton, bukan teman-teman Kamput. Mereka menganggap diri mereka pintar. Begitukah cara mereka mengambil kesimpulan terhadap orang lain ? melihat sekilas, dan menyimpulkan ; begitulah tabiat seseorang. Walaupun aku tak sekolah, aku tetap belajar. Dan yang aku tau, untuk mengambil kesimpulan, kita harus menelaah, membaca dengan teliti, mempelajarinya dengan seksama—itupun dengan berulang-ulang hingga benar-benar menguasai masalah—apakah mereka fikir, itu berlaku hanya saat mempelajari materi saja? Tidak berlaku pda saat bersosialisasi ?
Ya, Allah… . maaf ! maafkan aku ! mungkin aku tak pantas mengatakan semua ini. Karena mungkin terlalu sok. Orang yang tak sekolah berani-beraninya mengatakan kalimat-kalimat ini. Tapi, bagaimana Ya, Allah… . hatiku sangat sakit. Tak pernah sebelumnya aku merasa begitu terhina. Tak pernah !luka di gumpalan ini mengalirkan darah yang tak kunjung berhenti. Sakit sekali. Aku tak pernah menyangka akan menemukan sesuatu serumit ini.
Mau ku kemanakan rasa ini? Bertahun-tahun rasa ini menetap, terpahat, dan terpatri. Segalanya sirna ??? dilema ini sungguh menggalaukan !
            “ Ya, Allah…, jangan biarkan aku putus asa kepada-Mu karena semua ini… ! jangan biarkan setan-setan melonjak girang menyaksikan ku terjerumus ! izinkan aku selalu bersama-Mu ! mohon petunjuk-Mu selalu ! “
***
            Di spertiga malam, saat Sholat Tahajjud, aku menangis dalam sujud. Sesenggukan, ku serahkan hidup dan matiku pada-Nya. Kuasa-Nya… . kehidupanku, kuserahkan pada-Mu,Ya, Allah… !ku adukan semua rasa galau ini. Hanya Kau yang Maha Pengasih…
            Ibu duduk di sampingku. Menatapku dengan pancaran kasih sayangnya. Ada senyuman manis dan tulus terlukis. Perlahan…, dia menghapus bulir-bulir air mata di pipiku.
            “ Ibu sedih karena beberapa hari belakangan ini, ibu kehilangan permata hati yang sangat berharga. Permata hati ibu yang selalu ceria dan tak pernah mengeluh. Padahal ibu sangat merindukannya.” Tukasnya
            “ Maafkan aku, Bu… , a-aku… “
            “ Ibu tau, Nak… ! maafkan ibu karena tak bisa bantu banyak. Ibupun tak tau persis rasa sakit yang ada di hatimu.seandainya saja ibu bisa mengalihkan rasa itu, lebih baik ibu saja yang menanggung deritamu… “
Aku menggeleng. Ibu tak boleh sakit…
 Ibu tersenyum, “ Inilah hidup dan kehidupan. Kamu harus sadar. Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan. Ada langit, ada bumi, ada perempuan, ada laki-laki, ada bahagia, pasti sedih itu ada. Sekarang, ketika sedih melanda, apakah kita akan larut dalam sedih selalu ? terpuruk hingga waktu kita habis ? tidakkah kita mau bereusaha untuk lebih baik ? menatap optimis jalan terang panjang yang membentang di depan kita?
            Ibu pernah katakan kalau segala sesuatu didunia ini, ada resikonya. Kita harus bertanggung jawab atas jalan yang telah kita pilih. Begitu banyak rintangan yang Allah siapkan untuk kita. Yakinlah , ada rencana Allah, yang tak kita ketahui di balik semua ini. Entah seperti apa. Yang jelas, Allah pasti memberikan kita yang terbaik. Dan Allah tak mungkin memberi cobaan yang melebhi kemampuan hambaNya.kamu percaya itu, kan?”
            Kalimat yang menyejukkan bagai embun, bagai air hujan yang membasahi gersangnya hati. Yang menjelma menjadi penawar luka-lukaku…
            Kau sungguh milikku yang amat berharga dari seluruh dunia…
            Aku mengangguk pasti. Dan tersenyum membalasnya. Sekali lagi, aku mendengar bisik-bisik keirian cahaya bulan, kerlip-kerlip bintang, bahkan dingin, gelap dan angin…, ikut cemburu.
***
            Air sungai yang jernih,tampak mengalir tenang. Cahaya matahari berwarna jingga tampak terpantul pada jernihnya. Gerakan dedaunan melambai-lambai tertiup angin. Sore yang indah dan sejuk…, begitulah hatiku. Sudah lebih baik dari kemarin-kemarin. Aku lebih tenang sekarang. Tentu saja karena ibu. Sekarang, aku percaya inilah yang terbaik untukku dari-Nya.
            Aku duduk di bawah rindang pohon beringin. Aku tengah menunggu Yusuf. Dia memintaku menemuinya sore ini. Kali ini jantungku berdetak normal, nafasku teratur.
            “ Maaf, membuatmu lama menunggu ! “ sapanya, membuatku menoleh. Wajahnya sendu. Tampaknya dia masih bersedih. Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum.
            “Kamu tersenyum, apakah---“
            “ Tak apa-apa, kan ? ada apa lagi ? “ tuturku lebih tenang.               
            “ Apakah kamu sudah melupakan semuanya ?maafkan aku ! aku tak tau kalau ayah akan seperti itu. Akan melontarkan kalimat-kalimat yang menyakitkan itu…”
            “Tak apa-apa. Ayahmu tak salah. Dia hanya ingin melihat anaknya menikah dengan orang yang tepat, yang terbaik, dia melakukannya karena dia menyayangimu. “
            “ Tapi, apa kamu tak merasa…”
            “ Bagaimanapun juga, aku manusia biasa. Rasa sakit itu pasti ada… “
            “ Maafkan aku. Tapi aku ingin kita tetap menikah… ! “
Aku menatapnya, aku ingin seperti itu tapi…
            “ ……. “
            “ Aku ingin tetap bersamamu. Aku tak peduli ayah tidak merestui kita… “
            “……… “
            “ Aku tak peduli ayah tidak akan mengakui ku lagi .  aku tak peduli aku di cap menjadi anak durhaka. Aku tak peduli kita tak direstui ! “
            Aku menggeleng. Aku tak mau seperti itu.
            “ Maksudmu---“ Yusuf mengernyit heran dan kecewa.
            “ Aku tak ingin seperti itu. Kamu mungkin lebih mengetahui ini, kalau keridhoan Allah terletak pada Keridhoan orang tua, dan kemurkaanNya terletak pada kemurkaan kedua orang tua. Aku tak mau kalau harus menikah tanpa restu mereka. Tidak !. mungkin ini adalah jalan yang terbaik yang Allah berikan untuk kita. Belum terlambat. Berdoalah! Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati. Jika Allah menghendaki kita bersama, pasti kita bersama… “
            “ jadi kamu menyerah…?” lirihnya
            “ Bukan begitu. Aku hanya ingin Ridho mereka atas pernikahan kita. Lagipula, ini bukanlah akhir dari semuanya. Besok-besok kamu bisa saja menemukan orang yang cocok untukmu, atau kita akan bersama. Kita tak pernah tau, apa rencana Allah sesungguhnya. “
Hening…
Bertahun-tahun rasa ini bercokol di hati ini sekarang sudahku pasrahkan. Semoga ini keputusan yang terbaik.
            “ lantas…, apa yang harus aku lakukan dengan rasa ini… ? “
            “ kamu telah membuktikan kalau kamu mampu bertahan selama ini. Tujuh tahun, kamu mampu menyandang predikat cumeleude, sedangkan hatimu selalu menunggujawabanku. Aku tau kamu mampu. Dan kamu bisa melampiaskannya ke hal-hal yang positif… .
            Aku hanyalah noktah. Yang tak bisa berbuat apa-apa. Yang kulakukan hanya berdoa dan pasrah. Yakinlah ada sesuatu yang indah telah disiapkan Allah untuk kita ! “

            Derap-derap kaki seseorang dari belakangku membuatku dan Yusuf melemparkan pandangan kearah seseorang yang tengah berlari mendekat. Itu Budi.
            “ H…h…h…” nafasnya terengah-engah.
            “ Ada apa, Budi ? “ tanyaku heran.
            ” Anu…,Cuma mau memberi tahu saja, ada undangan mendadak. Jadi kita harus segera latihan.”
            “ Baiklah,kamu duluan saja,  nanti aku menyusul !”
            “ Ya sudah. Cepat ya ! “ tukasnya. Kemudian berlari menjauh.
            “ Aku harus pergi. Percayalah, ini yang terbaik. Jangan pernah menyalahkan ayahmu. Dia sungguh sangat menyayangimu. Dia tau dirimu melebihi kamu sendiri. Jadi , dia hanya ingin yang terbaik untukmu ! “tukasku. Dia mengiyakan dengan suara lirih hampir tak terdengar.
            Aku tau perasaanmu, Yusuf ! akupun begitu… . aku ingin , walau aku hanyalah noktah kecil, namun tetap di hatinya.
THE END





Keterangan :                                  
Kamput : nama sebuah group musik tradisional Lombok
Tuak : minuman keras/memabukkan
Gamelan : nama sebuah group musik tradisional Lombok
Husnuzon : berburuk sangka
Kebaya : baju adat Lombok
Noktah : titik

serpihan serpihan melati dalam pena . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates