Purnama - 21:22:23 [20:21:22]
Kamis,
04 Juni 2015
Denting piano ini untukmu. Tolong dengarlah
iramanya, disana aku selipkan kata-kata indah untukmu, untuk wanita istimewa
tentu saja. Aku tak yakin nada-nada kasih ini bisa menjulang hatimu,
mengajaknya menari dan berdendang bersama. Karena sebenarnya tak ada satu alat
musikpun yang bisa ku mainkan dengan baik, maka beginilah jadinya… ritme tak
jelas, nada tak beraturan, lirik yang semerawut dan mungkin tak nyambung
sana-sini. Ah, aku jadi ragu dengan pernyataanku di awal paragraph ini, bahwa
aku menyelipkan kata-kata indah untumu. Ya.. ya, mungkin belum bisa dikatakan
indah, hanya bait sederhana dengan diksi yang jauh dari majas-majas pujangga. Tapi
ku harap kau tak bosan, hingga tetap disini, tak beanjak sedikitpun.
Aku ingin mengungkapkan sesuatu
untukmu, bahwa kau wanita yang kuat dan istimewa. Hatiku tak sekuat hati
milikmu, hingga terkadang ada ribuan bercak hitam membuatnya terlihat buruk dan
ia menjadi sangat rapuh. Perasangka buruk dan ribuan cemburu menodainya, lalu
jasad yang menyelimutinya menjelma menjadi monster menyeramkan, siap menerkam
siapa saja. Matanya merah mengkilat-kilat seperti malaikat Izroil yang siap
menyabut nyawa dari jasad-jasad manusia. Aduh, bagaimana mungkin ia bisa ku
ibaratkan malaikat ?! bahkan Malaikat tak memiliki hasrat untuk marah bukan?! Walaupun
malaikat Izroil sebagai pencabut nyawa sekalipun. Sesungguhnya, prasangka
buruk, ribuan cemburu dan kemarahan pada hati dikuasai setan. Begitulah… aku
enggan berdamai denganmu.
Kau kuat, karena kau tak pernah
memandangku sebagai orang asing, sebagai penjahat yang mencabik-cabik cinta
milikmu. Kau rela membuka hatimu untuk seorang yang bahkan kau tak tahu
sebenarnya ia benar-benar tulus dan memiliki kerelaan sebagaimana dirimu atau
tidak sama sekali. Kau tak peduli jika sebenarnya penyebab luka hatimu adalah
dia. Dengan ikhlas, kau membuka pintu kedamaian itu, kau hadirkan kesejukanmu. Lalu
aku ingat sapaanmu, “…aku hanya ingin mengenalmu dengan baik, bersahabat
denganmu…”.
Kau tahu
tidak ? aku tak kuat jika menjadi dirimu. Dan itulah yang membuatmu istimewa. Istimewa
itu adalah ketika kau berbeda dengan orang pada umumnya, ia yang cepat sekali
dikenali walaupun terhimpit ditengah-tengah ribuan manusia di lapangan luas, ia
yang bersinar ditengah pekat gelap gulita. Tak banyak hati yang memiliki
kerelaan dan ketulusan sebagaimana dirimu. kau membagi kasih sayangmu dengan
niat yang tulus, tak peduli ia siapa. Tak peduli penjahat atau pembohong. Jujur,
aku iri kepadamu…
Mungkin kau tak menyadarinya, tapi
kau mengajariku banyak hal, mengingatkanku petuah-petuah bijak yang jauh
telahku lupakan. Benarlah setiap pertemuan dengan siapapun, peristiwa apapun
yang kita lalui sesungguhnya membawa pesan Tuhan. Namun terkadang kita sulit
memahaminya, sulit menjaring hikmah-hikmah dari tiap kepingannya. Aku, pada
setiap peristiwa yang ku alami masih merangkak patah-patah, terseok dan
seringkali putus asa memahami segala, hingga sulit membuatku berdamai. Aku masih
diliputi keegoisan bertumpuk-tumpuk, kemudian kebencian mulai menjalariku. Maafkan
aku, maafkan air tuba yang diam-diam telahku sirami disekujur tubuhmu.
Ini pengakuanku. Keenggananku untuk
berdamai itu salah, kecemburuanku padamu itu salah, seluruh bercak hitam pada
hatiku itu salahku.
Bodoh,
bodoh, bodoh jika aku seorang tersesat di belantara hutan, abai pada asap.
Bodoh,
bodoh, bodoh jika aku seorang buta, abai pada suara.
Bodoh,
bodoh, bodoh jika aku terperangkap gelap, abai pada cahaya.
Maka ini saatnya aku harus melangkah
tegas. Mencoba benar-benar berusaha sepertimu, memiliki hati yang lapang,
hingga yang ada hanya ketulusan dan kerelaan. Terimakasih, karena kau mau menerimaku dengan
tangan terbuka dan hati yang lapang. Terimakasih untuk tiap kebaikanmu. Aku menyadari,
seringkali aku tak menghargaimu. Sesungguhnya, aku tak pantas membuat luka
hatimu, menyirami Tuba pada ragamu, dan tak boleh secuilpun kebencian kau dapat.
Maafkan aku…
Kau benar-benar perempuan yang
mengamalkan sunnah Rasul, ‘Cintailah saudaramu sebagaimana kau mencintai
dirimu sendiri.’ Kau sudah benar memang, bahkan kau abai pada hatimu
sendiri hanya demi sekeping hati yang sebenarnya tak pantas mendapat
pengorbanan seperti itu. Tak usahlah kau banyak berkorban untuk[ku]nya. Berbahagialah…
raih apa yang kau yakini dengan benar.
Maafkan aku…
Semoga benar-benar menjadi sahabat yang saling mencintai karena
Allah.
Bulan purnama ini, aku tak mampu tepat waktu memberikan jawaban atas
pertanyaanmu pada pukul 21:22:23 [20:21:22] sebagaimana yang kau harapkan,
maafkanlah…
Kau…
Sesungguhnya, tak ada yang boleh mengabaikan terangnya cahaya
ditengah gelap gulita.
Kau..
Tak ada seorangpun boleh acuh pada asap ketika tersesat.
Kau…
Permata berkilau-kilau, tak boleh ada yang tak mendekap.
Kaulah itu, kaulah itu…
Kau pun juga bintang.
Biarku ceritakan kenapa kau kusebut bintang…
Kau…
Duduklah manis dahulu, Bintangku…
Kau tahu?! bintang tak pernah lelah bersinar
Walau awan hitam berarak-arak menutup langit biru
Walau hujan berderai-derai membasuh bumi
Walau matahari gagah perkasa menerpa seluruh
Bintang memancarkan cahayanya tampa pamrih.
Kau…
Begitu adanya dikau…
Atas pertanyaanmu itu, semoga kau
temukan jawabanku pada bait tak indah ini. Kini, denting pianoku mulai melemah
dan tersamar. Bolehlah kau rebahkan tubuhmu, hempas seluruh letihmu. Bisakah kau
lihat purnama pada tempat kau merebah ? disana ada bintang gemintang, dan saat
ini aku mulai menunjuk satu bintang yang paling dekat dengan purnama. Bintang itu
ku beri nama, Kau…
‘Jazmina Shofiya’
“Terimakasihku untukmu…”
untukmu, sahabat dan perempuan tangguh yang aku kenal
untukmu, sahabat dan perempuan tangguh yang aku kenal