Kamis, 04 Juni 2015 


            Denting piano ini untukmu. Tolong dengarlah iramanya, disana aku selipkan kata-kata indah untukmu, untuk wanita istimewa tentu saja. Aku tak yakin nada-nada kasih ini bisa menjulang hatimu, mengajaknya menari dan berdendang bersama. Karena sebenarnya tak ada satu alat musikpun yang bisa ku mainkan dengan baik, maka beginilah jadinya… ritme tak jelas, nada tak beraturan, lirik yang semerawut dan mungkin tak nyambung sana-sini. Ah, aku jadi ragu dengan pernyataanku di awal paragraph ini, bahwa aku menyelipkan kata-kata indah untumu. Ya.. ya, mungkin belum bisa dikatakan indah, hanya bait sederhana dengan diksi yang jauh dari majas-majas pujangga. Tapi ku harap kau tak bosan, hingga tetap disini, tak beanjak sedikitpun. 

            Aku ingin mengungkapkan sesuatu untukmu, bahwa kau wanita yang kuat dan istimewa. Hatiku tak sekuat hati milikmu, hingga terkadang ada ribuan bercak hitam membuatnya terlihat buruk dan ia menjadi sangat rapuh. Perasangka buruk dan ribuan cemburu menodainya, lalu jasad yang menyelimutinya menjelma menjadi monster menyeramkan, siap menerkam siapa saja. Matanya merah mengkilat-kilat seperti malaikat Izroil yang siap menyabut nyawa dari jasad-jasad manusia. Aduh, bagaimana mungkin ia bisa ku ibaratkan malaikat ?! bahkan Malaikat tak memiliki hasrat untuk marah bukan?! Walaupun malaikat Izroil sebagai pencabut nyawa sekalipun. Sesungguhnya, prasangka buruk, ribuan cemburu dan kemarahan pada hati dikuasai setan. Begitulah… aku enggan berdamai denganmu. 

            Kau kuat, karena kau tak pernah memandangku sebagai orang asing, sebagai penjahat yang mencabik-cabik cinta milikmu. Kau rela membuka hatimu untuk seorang yang bahkan kau tak tahu sebenarnya ia benar-benar tulus dan memiliki kerelaan sebagaimana dirimu atau tidak sama sekali. Kau tak peduli jika sebenarnya penyebab luka hatimu adalah dia. Dengan ikhlas, kau membuka pintu kedamaian itu, kau hadirkan kesejukanmu. Lalu aku ingat sapaanmu, “…aku hanya ingin mengenalmu dengan baik, bersahabat denganmu…”. 

Kau tahu tidak ? aku tak kuat jika menjadi dirimu. Dan itulah yang membuatmu istimewa. Istimewa itu adalah ketika kau berbeda dengan orang pada umumnya, ia yang cepat sekali dikenali walaupun terhimpit ditengah-tengah ribuan manusia di lapangan luas, ia yang bersinar ditengah pekat gelap gulita. Tak banyak hati yang memiliki kerelaan dan ketulusan sebagaimana dirimu. kau membagi kasih sayangmu dengan niat yang tulus, tak peduli ia siapa. Tak peduli penjahat atau pembohong. Jujur, aku iri kepadamu…

            Mungkin kau tak menyadarinya, tapi kau mengajariku banyak hal, mengingatkanku petuah-petuah bijak yang jauh telahku lupakan. Benarlah setiap pertemuan dengan siapapun, peristiwa apapun yang kita lalui sesungguhnya membawa pesan Tuhan. Namun terkadang kita sulit memahaminya, sulit menjaring hikmah-hikmah dari tiap kepingannya. Aku, pada setiap peristiwa yang ku alami masih merangkak patah-patah, terseok dan seringkali putus asa memahami segala, hingga sulit membuatku berdamai. Aku masih diliputi keegoisan bertumpuk-tumpuk, kemudian kebencian mulai menjalariku. Maafkan aku, maafkan air tuba yang diam-diam telahku sirami disekujur tubuhmu. 

            Ini pengakuanku. Keenggananku untuk berdamai itu salah, kecemburuanku padamu itu salah, seluruh bercak hitam pada hatiku itu salahku.
Bodoh, bodoh, bodoh jika aku seorang tersesat di belantara hutan, abai pada asap.
Bodoh, bodoh, bodoh jika aku seorang buta, abai pada suara.
Bodoh, bodoh, bodoh jika aku terperangkap gelap, abai pada cahaya. 

            Maka ini saatnya aku harus melangkah tegas. Mencoba benar-benar berusaha sepertimu, memiliki hati yang lapang, hingga yang ada hanya ketulusan dan kerelaan.  Terimakasih, karena kau mau menerimaku dengan tangan terbuka dan hati yang lapang. Terimakasih untuk tiap kebaikanmu. Aku menyadari, seringkali aku tak menghargaimu. Sesungguhnya, aku tak pantas membuat luka hatimu, menyirami Tuba pada ragamu, dan tak boleh secuilpun kebencian kau dapat. Maafkan aku…

            Kau benar-benar perempuan yang mengamalkan sunnah Rasul, ‘Cintailah saudaramu sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri.’ Kau sudah benar memang, bahkan kau abai pada hatimu sendiri hanya demi sekeping hati yang sebenarnya tak pantas mendapat pengorbanan seperti itu. Tak usahlah kau banyak berkorban untuk[ku]nya. Berbahagialah… raih apa yang kau yakini dengan benar. 

            Maafkan aku…
Semoga benar-benar menjadi sahabat yang saling mencintai karena Allah.

Bulan purnama ini, aku tak mampu tepat waktu memberikan jawaban atas pertanyaanmu pada pukul 21:22:23 [20:21:22] sebagaimana yang kau harapkan, maafkanlah…

Kau…
Sesungguhnya, tak ada yang boleh mengabaikan terangnya cahaya ditengah gelap gulita.
Kau..
Tak ada seorangpun boleh acuh pada asap ketika tersesat.
Kau…
Permata berkilau-kilau, tak boleh ada yang tak mendekap.
Kaulah itu, kaulah itu…
Kau pun juga bintang.
Biarku ceritakan kenapa kau kusebut bintang…
Kau…
Duduklah manis dahulu, Bintangku…
Kau tahu?! bintang tak pernah lelah bersinar
Walau awan hitam berarak-arak menutup langit biru
Walau hujan berderai-derai membasuh bumi
Walau matahari gagah perkasa menerpa seluruh
Bintang memancarkan cahayanya tampa pamrih.
Kau…
Begitu adanya dikau…

            Atas pertanyaanmu itu, semoga kau temukan jawabanku pada bait tak indah ini. Kini, denting pianoku mulai melemah dan tersamar. Bolehlah kau rebahkan tubuhmu, hempas seluruh letihmu. Bisakah kau lihat purnama pada tempat kau merebah ? disana ada bintang gemintang, dan saat ini aku mulai menunjuk satu bintang yang paling dekat dengan purnama. Bintang itu ku beri nama, Kau…


‘Jazmina Shofiya’
“Terimakasihku untukmu…”
untukmu, sahabat dan perempuan tangguh yang aku kenal

serpihan serpihan melati dalam pena . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates