Cerpen : Tamu
TAMU
By : Jazmina Shofiya
Krik… krik…krik…
Sekawanan jangkrik
telah mengepungnya, suara mereka ramai terdengar di telinga. Jam dinding masih
menunjukkan pukul 18:30, masih sore. Tapi sekawanan jangkrik yang mengepung
seolah telah menjadikannya terasa larut dan mencekam. Sejak pertama kali
menjadi tetangganya, tak pernah sekalipun mataku luput mengamatinya. Kawanan
jangkrik itu memang hobi sekali dekat-dekat dengannya, seakan menghiburnya
-yang di mataku- selalu tampak murung, kesepian dan penyendiri.
Berbeda denganku. Jika
matahari sudah mulai tenggelam, manusia berjas mewah yang dikenal dengan
sebutan manager dan beberapa karyawannya malah bersiap mendandaniku agar
terlihat cantik dan mempesona. Aku harus memamerkan wajah cantikku dengan
ceria. Tak boleh bermuka masam atau
sendu. Dinding-dindingku di kelilingi lmpu-lampu warna-warni dan beberapa lampu
disco, dihiasi berbagai alat music, alunan suara para penyanyi, dan
lenggak-lenggok pinggul para penari seksi.
Tidak seperti dia yang dikelilingi jangkrik. Kalian harus tahu, tak
seekor jangkrik pun pernah ku lihat mampir di sisiku. Selain itu, ia juga hanya
diurus oleh seorang kakek tua yang tubuhnya telah bungkuk dan geraknya bergetar
menopang tubuhnya sendiri. Kakek tua tak pernah memakai jas rapi dan mahal
seperti managerku. Dia hanya mengenakan peci, baju koko dan sarung. Setiap
hari, kakek tua itu lah yang selalu mengurusinya. Menyapu sendiri, mengepel
sendiri, menggelar karpet sendiri, menghidangkan suguhan untuk para tamu pun
sendiri. Setiap lima waktu, kakek tua akan berseru-seru memakai pengeras suara.
Katanya, itu seruan untuk para tamu kekasih Tuhan agar mereka segera datang
menikmati hidangan surga yang telah disediakan. Ah, lucu sekali. Bahkan suara
kakek tua pun terdengar sangat memuakkan karena tak merdu. Pantas saja, tak ada
tamu yang mendekat apalagi mampir.
Beberapa waktu lalu, aku tak sengaja mendengar
kakek tua mengobrol dengan beberapa tamu yang umurnya tak jauh beda dengan si
kakek.
“Ya, sejak dia menjadi
tetangga, tak satupun pemuda tertarik bertamu pada kami.” Ujar pak tua itu pada
mereka. dan yang membuatku geram dan kesal adalah kata ‘dia’ yang pak tua itu
maksud adalah aku. Aku sungguh yakin maksudnya adalah aku. Tetapi, kenapa jadi
aku yang disalahkan? Pak tua itu seolah menuduhku merampas tamunya dan si
kesepian itu. Kalau dipikir-pikir, itu bukan salahku sepenuhnya. Siapa suruh
pak tua tak mendandaninya dengan baik. Walaupun dia teramat cantik,
tapi tetap saja butuh polesan make up kan ?! sayangnya, tak ada yang bisa ku lakukan untuk membela diri. Jadi aku hanya
diam saja pura-pura tak mendengar apapun.
“Hei, kamu…!”
ujarku memberanikan diri. Si kesepian menoleh tanpa mengatakan apapun. Hanya
saja, ia menunggu kalimat yang akan ku katakan berikutnya.
“Kamu kenapa ?”
Tanyaku. Aku ingin memastikan apakah dalam jawabannya nanti ada kalimat yang
menunjukkan bahwa ia tengah marah padaku karena menjadi tetangganya.
“Aku tak perlu
menceritakan aku kenapa. Bukankah kau selalu memantau bagaimana hari-hariku
belakangan ini ?! tetaplah memperhatikan tiap gerak-gerikku, nanti kau akan
tahu sendiri jawaban atas pertanyaanmu.” Jawabnya. Tuturnya memang lemah
lembut, tapi ada keangkuhan yang
tersembunyi di balik itu. Itulah yang aku rasakan. Aku merasa seolah
dipermalukan. Memangnya dia siapa yang harus kuperhatikan ?! ah, aku tak ingin
berdebat. Lagi pula aku tak banyak waktu.
“Ya sudah kalau
tak mau bercerita. Sebentar lagi tamu-tamuku akan semakin ramai berdatangan.
Aku harus bersiap-siap dan menyiapkan suguhan special untuk mereka.” sebal
sekali. Aku menyesal telah menyapanya. Sudah untung aku peduli atas keadaannya.
***
Semakin larut,
tamu-tamuku semakin ramai berdatangan. Mereka menikmati tiap hidangan yang kami
sediakan. Bernyanyi, minum-minum, berjoget di tengah remang-remang cahaya kelap-kelip
lampu disko. laki-laki dan perempuan berbaur menjadi satu. Mereka berbahagia
dan bersenang-senang. Aku senang tamu-tamuku menikmati suguhan yang kami
sediakan. Di beberapa tempat, pria dan wanita tampak bermesraan sambil bermanja-manja.
Mereka tengah kasmaran, membuatku geli dan gemas sekali. Hingga larut, mereka
tak jua beranjak. Biasanya mereka akan pulang ketika subuh menjelang. Hingga
terkadang, ruang luas yang aku sediakan menjadi terasa sempit. Beberapa tamuku
bahkan tak bisa masuk saking tak ada ruang untuk mereka. barangkali, harus
menambah ruang lagi supaya mereka tak berbalik tanpa mencicipi suguhan-suguhan
menarik yang kami sediakan.
Tamu-tamuku dari
berbagai kalangan, kecuali anak di bawah umur. Dari kelas motor butut hingga
mobil mewah seharga miliaran rupiah. Dari remaja hingga kakek-nenek. Mereka
senang sekali berlama-lama menjadi tamuku. kata mereka, menjadi tamuku adalah
hal yang paling menyenangkan. Tempat refreshing melepas stress, karena segala
yang tersuguhkan adalah wanita-wanita cantik nan seksi, pria-pria macho dan
segar, minum-minuman dengan kadar alcohol yang membuat fly, music disco yang
keras membuat tubuh ikut berjoget ria dan aneka kesenangan lainnya. mereka tak
segan-segan menghabiskan berlembar-lembar rupiah hanya karena menjadi tamuku
tiap malam. “Ini kebutuhan pokok, kebutuhan rohani yang wajib dipenuhi” Begitu
dalih mereka sambil tertawa terbahak-bahak. Ya, aku setuju sekali dengan dalih
itu. “Silahkan berlama-lama dan nikmati suguhan special kami. Penuhi kebutuhan
rohani kalian !” seruku suka cita nan bangga.
Sesekali ku lirik
tetanggaku-si Kesepian itu. Ia hanya berdiam dan sepi. Hanya ditemani kakek
tua dan suara jangkrik yang semakin ramai. Kakek tua tampak berada di teras depan, menyeru-nyeru pada manusia yang berseliweran di depannya.
“Ayo Nak…
masuklah… masuklah menjadi tamu kami !” Seru kakek tua itu. Tapi tak seorangpun
menggubris seruannya. Aku merasa iba.
Manusia-manusia itu selalu saja menganggapnya angin lalu dan melewati mereka,
lalu kemudian menghampiriku. Memintaku menerima mereka menjadi tamuku tanpa
harus aku yang menyeru. Kakek tua menoleh kepadaku dengan raut sedih dan
kecewa. Kedua matanya tanpak berkaca, bibirnya melafadzkan sesuatu, kemudian
menggeleng-geleng. Aku merasa bersalah dan prihatin sekali. Tapi sekali lagi,
aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa membujuk hati mereka yang terlanjur
tertarik menjadi tamuku agar mau menjadi tamunya. Karena itu pilihan mereka
masing-masing. Bukankah manusia-manusia seperti mereka dan kakek tua lebih
memahami urusan pilihan hidup mereka masing-masing ?!
Ku pandangi si
kesepian itu seksama. Ia tepat berdiri kokoh nan anggun di sampingku. Tak
satupun ada keganjilan padanya. Malah, bagiku teramat sempurna. Bersih, bahkan
lebih bersih dariku. Wangi, terang, terlihat sejuk dan nyaman. Cahaya yang ia
pancarkan berbeda dari cahaya-cahaya lampu biasanya. Lebih tampak indah. Entah
bagaimana aku mendeskripsikannya kepadamu. Yang jelas, ketika memandangnya hati
ini jadi terasa tentram, adem dan menenangkan. Bagaimana bisa manusia-manusia
itu tak menyadari keelokannya ? sebenarnya, diam-diam ada rasa iri karena ia
memiliki keindahan yang tak dibuat-buat sepertiku.
“Ada apa
memandangku seperti itu ?” Tanyanya tiba-tiba. Aku terperanjat, dia membuatku
kaget. Segera ku alihkan pandanganku ke sekitar.
“Tak apa-apa.”
Jawabku pura-pura, karena sebenarnya ada banyak pertanyaan bergelantungan
mengelilingiku. Dia hanya ber’o’ saja menanggapi jawabanku. Padahal, aku ingin
responnya lebih dari itu. Mungkin bertanya lebih banyak lagi kepadaku karena
rasa penasaran. Tapi ternyata, tidak seperti yang aku bayangkan. Membuatku
semakin tak sabar dan penasaran.
“Ekhem. Sebenarnya
kau ini kenapa ? kenapa tak ada manusia yang ingin bertamu kepadamu ? padahal
dalam pandanganku, kau tak kurang satu apapun.” Akhirnya pertanyaan itu keluar
juga dariku. Aku sudah tak sabar. Entahlah kali ini jawaban yang bagaimana akan
ia utarakan . Atau mungkin, dia akan tetap diam mengabaikan
pertanyaanku begitu saja. Entahlah…
Untuk beberapa saat, dia terdiam. Lalu ia menggeleng, “Entahlah…”
ujarnya kemudian. “Barangkali hati mereka sudah terlampau kotor hingga tak bisa
memilah seruan nurani. Barangkali, nafsu sudah terlampau beringas menguasai mereka,
hingga mereka sesungguhnya bukan lagi manusia.” Lanjutnya dengan nada perih
yang menyedihkan. Apa maksudnya dengan semua itu ? bukankah jelas-jelas mereka
manusia. Aku tak pernah melihat mereka bisa menjelma menjadi makhluk lainnya
seperti jin yang kata orang bisa menjelma menjadi apa saja.
“Ah, kau terlalu mendramatisir
perkara. Terlalu membuat suasana ini menjadi terasa mistis.” Aku mencoba
mencairkan suasana asing yang tiba-tiba saja membuatku bergidik ngeri. Firasatku,
apa yang akan ia katakan selanjutnya lebih akan terasa menyeramkan.
“Aku serius. Aku tak main-main !” Dia menatapku tajam.
“Mungkin kau tak mengerti, karena yang kau tahu hanya bersolek,
memikat banyak tamu dan menyediakan berbagai macam kesenangan duniawi yang
semu. Sebenarnya, tanpa kau sadari kau itu alat yang menjadikan mereka lupa
bahwa mereka manusia. Bahkan kaulah yang merubah mereka untuk tak menjadi
manusia lagi !”
Aih, firasatku tak salah. Kata-katanya sungguh menusukku. Apa ia
terlampau membenciku lantaran manusia tak ada yang bertamu kepadanya
sampai-sampai ia menuduhku seperti itu ?! bagaiamana mungkin karenaku ? aku tak
tahu apapun. Bukankah aku hanya mengikut apa yang di perintahkan majikanku saja
?. sungguh aku geram sekali mendengar tiap perkataannya. Apa dia tak sadar,
bahwa apa yang ia utarakan kepadaku sangat kasar ? apa tak sedikitpun ada rasa
sungkannya padaku ? dan anehnya, seperti biasa, aku selalu tak bisa membela
diriku. Dia sperti memiliki aura magis yang menguasai tiap lawan bicaranya. Membuat
mereka bungkam tanpa bisa menyangkal dengan dalih apapun.
Hening…
Segeraku tinggalkan ia. Kembali ke rutinitasku untuk meladeni
tamu-tamuku yang semakin larut semakin membeludak. Berpura-pura mengabaikan
tiap kalimat yang ia ucapkan padaku walaupun sejatinya aku tetap saja
memikirkannya. Pertanyaan-pertanyaanpun semakin menghantuiku, mengganggu
konsentrasiku.
***
Malam ini menjadi malam yang menakutkan untukku. Tamu-tamuku ramai,
riuh tak terkendali. Mereka berlari tergopoh-gopoh tak tentu arah, membanting
apapun yang mereka temui, berteriak-teriak, saling menabrak satu sama lain,
kebingungan mencari-cari tempat sembunyi. Bahkan mereka berkali-kali
membenturkan dirinya ke arahku, membuatku meringis kesakitan, tapi mereka tak peduli.
Mereka seolah hanya memikirkan keselamatan diri mereka sendiri.
Tadinya, suasana malam ini sama seperti malam-malam lalu. Hanya
kesenangan, kebahagiaan, tawa riang tanpa sedikitpun rasa takut. Tapi, suasana
menyenangkan itu sirna seketika tepat ketika rombongan manusia berseragam
menyerbu masuk. Mereka menggerebek kami, menghancurkan semua kebahagiaan yang
ada. Mereka para polisi. Namun, apa yang salah? aku tak pernah tahu apa
salahku. Bukankah aku telah melakukan tugasku dengan baik ?!
Aku mencari-cari sosoknya, manusia berjas mewah dan mahal yang
dikenal dengan sebutan manager itu. Sejak keributan berlangsung, aku tak
sedikitpun melihat batang hidungnya. Entahlah dia bersembunyi di mana.
Meninggalkanku begitu saja. Aku benar-benar menyadari bahwa aku sendiri,
terabaikan begitu saja. Jangan-jangan apa yang dikatakan si kesepian tentang, aku hanya
sebagai alat itu, benar. Perih.
Aku ingin menangis, igin mengadu, tapi pada siapa?!
ku dongakkan kepalaku menatap sekeliling, dan mataku tertambat pada mata si
kesepian yang teduh. Dia menatapku prihatin. Dan aku menangis.
“Kau tak apa ?” Begitu tanyanya.
Aku menangis, bagaimana mungkin aku tak apa-apa?! aku tak menjawab pertanyaannya. Hanya suara tangis dan sesenggukanku saja yang terdengar.
“Hhh…h” dia menghela nafas. Sedang air mataku semakin deras saja.
Aku masih serba tak mengerti apa yang terjadi. Lihat ! betapa menyedihkannya
diriku sekarang. Tampak teramat buruk, serba berantakan. Beling-beling pecahan
kaca, lampu, gelas, piring dan meja berserakan.
Ruang tampak layaknya kapal pecah tak beraturan. Tak ada lagi kecantikan yang
mampu memikat tamu-tamu.
“Begitulah akhir dari setiap episode kiri, sahabat…” Tukasnya.
“Bangkai akan selalu tercium juga pada akhirnya.”
Hei ! apa yang salah ? apa maksudnya dengan episode kiri ? bangkai
? apa itu aku ?!. sayangnya
seruan itu hanya tertahan saja di hatiku, tak sedikitpun mampu ku lontarkan
padanya.
“Aku tak menuduhmu sebagai bangkai. Kau sahabatku, kita sama-sama
sebuah bangunan yang dibangun dengan susunan batu-bata, berlapis semen dan
lainnya. tapi manusia membawa kita ke episode yang berbeda. Kau kiri dan aku
kanan.” Ia mulai menjelaskan. Rupanya ia seolah bisa mendengar kata hatiku.
“Bukankah sudah ku katakan bahwa kau hanyalah alat, sama sepertiku.
Namun kita berbeda haluan. Perbedaan diantara kita bahkan sangat kontras. Aku adalah
bangunan sederhana semi mewah yang manusia-manusia dirikan sebagai rumah Tuhan.
Suguhanku bukanlah perkara yang membuat perut buncit karena
berbagai hidangan makanan, tidak juga dengan dendangan para penyanyi serta alat
musicnya, atau bahkan dengan lenggak-lenggok para penari cantik dan seksi. Suguhanku hanya sehelai permadani sebagai alas
untuk para tamu Tuhan berdiri, rukuk, sujud, duduk disertai mulut yang tak
henti memuja Tuhan dan melafazkan doa. Suguhanku hanya kitab yang tiap
lembarnya tertulis kalam Ilahi untuk mereka baca sebagai petunjuk ketika mereka
tersesat, penerang jiwa yang gelap, pengingat ketika mereka lupa, bahkan obat
dari segala penyakit yang menjangkiti mereka. seluruhku adalah kebaikan abadi,
bukan kesenangan duniawi semu.”
Mendengar segala tuturnya membuatku tersadar akan sesuatu. Bahwa
selama ini, aku tak pernah ada kesempatan untuk mengenal Tuhan, apalagi
mengingatNya. Ya, aku hanya tahu bahwa aku didirikan sebagai tempat para tamuku
berfoya-foya menghamburkan uang. Namaku diskotik dan siapapun bebas memuaskan
nafsu mereka padaku dengan berbagai suguhan yang aku sediakan.
“Kau berada disampingku membuatku sungguh sedih. Aku menyaksikan
kenyataan para manusia cenderung ingin bertamu kepadamu, tidak kepadaku. mereka
banyak terkesima dengan keindahan dan kecantikanmu, padahal sesunggunya
kecantikan dan keindahamu adalah cover yang membungkus penderitaan akhirat yang
mengerikan.”
“Ku beri tahu engkau, bahwa sebenarnya aku tak begitu sedih
lantaran tak banyak yang berminat menjadi tamuku. aku hanya sedih mendapati
kenyataan bahwa manusia telah lupa kepada diri mereka sendiri. mereka lebih
memilih tak lagi menajadi manusia. Mereka banyak lupa bahwa posisi sebagai
manusia memiliki derajat termulia. Aku sungguh prihatin karena perkara duniawi
adalah segalanya bagi mereka. aku sedih Karena tamu-tamumu yang membludak dari
kalangan manusia itu sebenarnya lebih rendah derajatnya dari tamu-tamuku tiap
malam yang hanya sekawanan jangkrik. Karena sesungguhnya, mereka senantiasa
mensucikan Tuhan mereka tiap saat.”
Aku semakin bungkam tak mampu mengatakan sepatah katapun.
“Bahkan Jangkrik lebih tinggi derajatnya dari tamu-tamuku para
manusia …” kata-kata itu
terus saja terngiang-ngiang di benakku.
THE END
Alhamdulillah