Ja.rak
Ja∙rak: n ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat.
. . . . .
PO Bus Malam - Lombok
Senja itu, ciuman penghormatanku mendarat
di tangan Inak dan Bapak. takzim dengan menduduk, bukan menarik atau
mengangkat tangan mereka ke atas mensejajari mukaku. Lalu, bibirlah yang menempel
di punggung tangan mereka, bukan pipi. Tak sampai satu menit, barangkali hanya
beberapa detik sambil bibirku melafazkan sholawat kepada Rasulullah SAW.
“Ketika
kau bersalaman dengan seseorang, maka saat itu pula bacalah sholawat agar
salammu tak hanya sekedar salam kosong” Begitu tutur inak padaku
beberapa tahun lalu. Entahlah apa alasan di balik nasehat itu, aku tak sampai
mempertanyakan hal itu lebih jauh.
Ya,
ritual salam penghormatan itu tak sampai setengah menit dan tak menyisakan
sensasi haru yang keterlaluan. Syukurlah, karena jika ada air mata mengalir di
pipiku saat itu, aku akan merasa sangat malu. Akupun bergegas menuju Bus malam –bus
yang akan membawaku ke pulau seberang sebentar lagi. Untuk beberapa menit sejak
ritual salaman berlalu, aku masih baik-baik saja.
Barang-barang sebagian sudah masuk
ke bagasi Bus dan aku hanya membawa ransel bersamaku. Kursiku berada di deretan
belakang, tampak di sandingku seorang nenek-nenek tengah duduk sambil terpejam
menghadap jendela. Dalam hati, aku sedikit kecewa sebab ternyata kursi yang aku
tempati tidak dekat dengan jendela. Padahal, aku sudah berangan-angan untuk
menikmati bintang darat selama perjalanan. Tapi ya sudahlah. Seketika ada yang
berdesir di relung hatiku. Sayup-sayup keharuan menyapu tiap celah hatiku. Nuraniku
terusik. Tiba-tiba saja, aku kangen inak. Kangen ritual bersalaman baru
saja, kangen senyumnya, kangen nasehatnya, kangen seluruhnya ia.
Aku menoleh, mencari sosoknya dari
balik kaca jendela. Ia masih berdiri di bawah pohon menghadap pintu bus. Wajahnya
sendu, tapi tak ada air mata. Mungkin kita sama-sama gengsi untuk
menangis? Barangakali jawabannya memang iya. Dia melihat bayanganku dari balik
kaca, aku juga melihatnya –bahkan lebih jelas. Aku hanya cengengesan sambil
melambaikan tangan ketika bus mulai melaju. Namun sesungguhnya, hatiku tertohok
dan aku menahan sakitnya. Sejak saat itu, aku menyadari bahwa tak ada alasan
untuk tak besahabat dengan jarak bagi seorang perantau.
*
Nenek di sampingku masih terpejam. Beberapa
rambut putihnya keluar dari sela-sela kerudungnya yang longgar dan tak rapi. Kulitnya
keriput. Perkiraanku, mungkin umurnya sekitar tujuh puluhan ke atas. Aku menoleh
kiri-kanan, barangkali nenek ini ikut rombongan. Tapi, sepertinya tidak. Karena
tak ada tanda-tanda bahwa ia ikut bersama rombongan penumpang lain. Sendiri ?
entahlah... . ia terlmpau senja untuk melakukan perjalanan jauh ini sendiri. Dan
aku merasakan sakit di hatiku. Entahlah...
Nada hand phone poliphonik
itu berbunyi, membut nenek itu terbangun dan mencari-cari hand phone di
tas usangnya. Aku tak tahu persis apa yang dikatakan seorang penelpon di
seberang sana, tapi aku mendengar nenek hanya menjawab, “Iya, busnya sudah
berangkat” lalu sambungan telepon itu terputus dan nenek kembali menaruh hp nya
di tas.
Dia menoleh padaku, dan tersenyum, “Saya mau ke Malang...” Katanya
padaku tiba-tiba. Akupun membalas senyumnya dan bertanya, “Sendirian, Nek?” aku
sungguh penasaran.
“Iya...”
Mendengar jawaban itu, entah kenapa hatiku semakin sakit. “Kenapa
enggak ada yang temani ?”
“Biasanya cucu perempuanku yang menemani, tapi dia menjadi guru. Sekolah
sudah tidak libur.” Katanya. Tapi tetap saja hatiku masih sakit. Ia terlampau
renta untuk melakukan perjalanan ini sendirian. Bahkan geraknya sudah bergetar.
“Apa tak apa-apa nenek sendirian?”
“Tidak apa-apa. Saya sering ke Malang. Nanti juga mau ke Jakarta. Anak
saya keduanya laki-laki. Satu di Jakarta dan satunya ada di Malang...”
Allah...
Tiba-tiba aku kesal dan sakit di hatiku semakin menjadi-jadi. Nenek
itu bercerita bahwa kedua anak lelakinya tak bisa pulang mengunjunginya ketika
liburan Hari Raya Iedul Fitri, sebab itulah dia yang harus mengunjungi
anak-anaknya. Kedua anaknya menjadi pengajar. Dan betapa aku melihat wajahnya
berbinar-binar sambil terus tersenyum sepanjang ia mengisahkan tentang kedua anaknya
itu. Aku rasa, dia teramat bangga dan bahagia. Tapi kenapa malah aku yang sewot?
Ya, apa namanya kalo bukan sewot karena malah merasa kesal dan sakit hati
seperti ini. padahal nenek baik-baik saja kan ?!
Yang aku sesalkan, kenapa tega melepas nenek untuk melakukan
perjalanan jauh ini sendirian? Pada usia yang terlampau senja, pada langkah
yang tak lagi lincah dan tanggap, pada gerak yang terus bergetar dan
patah-patah, pada tubuh yang tak lagi tegap, pada kata yang tak lagi fasih,
pada seluruh ia yang tak lagi normal..., kenapa???
Kepada
nenek, kenapa kau repot-repot melakukan perjalanan ini?!
“Aku ingin mengunjungi anak dan
cucu-cucuku...” Begitu saja jawabnya sambil tertawa.
Sendirian?
. . . . “Iya...”
Ah,
bukankah aku juga sendirian?! Itulah sebabnya Allah mempertemukan kita di
perjalanan ini. sesungguhnya, tak ada kebetulan-kebetulan yang tak terencana di
dunia ini. Aku percaya itu. Baiklah, Nek... aku akan berteman denganmu.
*
“Nak, seorang ibu tak pernah usai
kasih sayangnya, tak pernah lebih peduli pada dirinya sendiri dari pada kepada
anak-anaknya lebih dahulu. Bagaimanapun keadaannya. Apapun itu -demi buah hati-
ia rela. Tak ada pengorbanan melebihi pengorbanan ibu, tak ada cinta yang
seluas cintanya. Dan tak ada balasan apapun yang bisa menandingi seluruh
jasanya. Tahtanya tentu saja termulia.”
. .
. .
Ja∙rak: n ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat.
Nenek itu seorang ibu dari dua anak
laki-laki yang telah dewasa dan berkeluarga. Mungkin dialah yang telah lama
mengakrabi jarak dan menjadikannya teman baik selama ini. hingga ia selalu
ikhlas ketika harus menempuh perjalanan panjang untuk menemui buah hatinya. Ia juga
yang barangkali tak pernah habis pengertiannya terhadap jarak, hingga sabarnya
pun tak berbatas atas apa yang dikehendaki Tuhan ketika jauh perjalanannya tak
selalu mulus dan indah.
Kau tahu,
Kali ini, air mata tak sanggupku
bendung lagi. Akankah aku bisa berteman jarak seperti nenek itu yang menjadi
ibu? Ataukah aku yang seorang anak mengasingkan diri dan melupakan bahwa ditempatku
nanti dan tempat inak dan bapakku berada ada jarak. Hingga tak ada rindu
dan kasih sayang serta doa yang ku haturkan demi melipat jarak? Hingga, semua
menjadi jomplang, hanya ibu saja yang ingat dan aku melupakan...
Allah...
Tak ingin seperti itu. Sungguh-sungguh
tak ingin....
. .
. . .
Terminal
Arjosari-Malang
Pagi itu, aku sambil menggandeng
nenek –temanku itu- menuruni bus pelan-pelan diantara kerumunan penumpang
lainnya. Nenek akan dijemput oleh anaknya sebentar lagi katanya. Aku membujuk
nenek untuk menelpon, tapi tampaknya dia tak bisa. Lantas, aku mencoba untuk
meminjam hp nya akanku telponkan anaknya. Tapi ponsel itu tak menyimpan
nomer siapapun dan tak memiliki pulsa untuk menghubungi siapapun. Khawatir dan
takut, apa yang harus aku lakukan?!
Beberapa waktu lalu, ada seseorang
yang menelpon ke ponsel nenek. Benar, ada nomer hp tak dikenal di sana. Syukurlah,
itu nomer hp anaknya. Padahal buruk sangkaku telah bengkak oleh rasa
kesal. Buruk sangka itupun menyusut dan pupus ketika seorang laki-laki dewasa
datang menjemput nenek. Anak laki-laki itu adalah salah satu putra nenek. Aku tersenyum
lega pada keduanya.
Sebelum berpisah, ritual salam
penghormatan harus kulakukan juga pada nenek. Ada sensasi haru yang menyeruak. Aku
ingat inak... . Semoga, kelak aku tak membiarkanmu menua dalam
kesendirian, semoga tetap baktiku padamu, semoga ridhomu senantiasa
menyertaiku...
“Belajarlah yang baik, Nak...” Ujar nenek
“Enggeh, Nek...”
“Ini kenang-kenangan dari nenek” Dia
menyodorkanku sebuah bros mutiara padaku. Aku terkesima dan terharu luar
biasa. Ada rasa haru yang hiper memenuhi hatiku.
Pagi
itu, kami berpisah. Melanjutkan kisah hidup kami masing-masing.
*
Jarak tak boleh membuatmu asing dan melupakan syurga yang paling
dekat denganmu. Benar,
seharusnya berteman baiklah dengannya, karena ruang sela ini
memberi waktu untuk memupuk rindu terus-menerus hingga doa kebaikan mengangkasa
dan tak pernah usai membuatmu dekat –meski sepanjang dan sejauh apapun jarak
memisahkan.
Penulis Akarumput:
`Jazmina Shofiya`
مشتاق
إليك يا أمّي ....
^Anshofa^