Tentang Kehilangan
“Bagaimana kamu begitu kuat?”
Tanyaku pagi itu ketika melihat senyumnya yang begitu manis. Wajahnya tampak
cerah dan ceria, tak ada sedikitpun gurat kesedihan. Aku mendekat, mulai meraih
dan memeluk lengannya.
“Apa yang terlihat, terkadang tak
selalu benar, Fiy...” Ujarnya padaku. Senyumnya masih sama, tak berubah
sedikitpun. Kami berdua bejalan beriringan menikmati udara pagi di tengah
seliweran orang yang juga mengisi pagi mereka dengan bermacam-macam aktifitas. Ada
yang jogging, senam, sekedar berjalan-jalan seperti kami, bersepeda, anak-anak
bermain sepatu roda dan banyak hal. Kami sedang berada di kawasan Car Free
Day/ CFD.
Jika mata adalah pintu hati yang mampu
mengutarakan sejujur-jujurnya rasa, aku tak menemukan kesedihan-sebab peristiwa
menyedihkan yang baru saja ia alami- pada matanya. Mata itu menjelaskan bahwa
ia telah ikhlas atas semua peristiwa kehilangan. Bahwa ia perempuan tegar dan
beriman.
“Ayah telah kembali pulang, itulah
yang terbaik bagi-Nya. Mungkin bagi kita, kehidupan menjadi tak sempurna lagi,
tapi bukankah kembali ke sisi-Nya adalah sebuah keniscayaan? Hanya saja, waktu
yang dijadwalkan-Nya tak selalu sama.” Begitu katanya. Iya, dua minggu lalu,
ayahnya telah berpulang ke sisi-Nya.
Kalimat
yang ia ujarkan lantas membuatku tersadar bahwa kematian, mau tak mau akan
menjemput setiap insan. Dan lagi, betapa percayanya ia bahwa semua dariNya adalah
hal terbaik baginya, ia tak putus asa atau mencaci maki. Aku tahu, itu karena
iman kepada Alloh begitu kuat. Sebab iman yang kuat itulah, ia menjadi
perempuan tangguh, tak larut dalam kesedihan. Ia sadar bahwa Alloh-Tuhan kita-
Maha Besar, Maha segalanya, yang tak pernah sekalipun keliru atas takdir yang
telah ia berikan kepada dirinya. Betapa inginnya menjadi setangguh dia.
Lelah berjalan-jalan, kami duduk
santai di trotoar sambil menikmati cemilan yang baru saja kami beli untuk
sarapan. Disana, kami mengobrol banyak hal. Saling berbagi kisah pengalaman
masing-masing. aku lebih memilih menjadi pendengar saja. Sebenarnya, ingin
menghiburnya, menguatkan hatinya. Tapi ia malah lebih kuat dari yang ku kira. Malah
mendengar kisahnya, membuatku tersadar bahwa sesungguhnya aku begitu lemah
selama ini. bahwa rapuhnya aku yang sedikit-sedikit mewek dan mengeluh ketika
tertimpa hal yang tak pas di hati.
“Tentu saja aku sedih atas
kehilangan ini. Apalagi kehilangan salah satu orang tersayang. Aku manusia
biasa, bagaimana mungkin tak sedih....ha ha” Dia tertawa ketika dengan polosnya
aku menanyainya tentang kesedihan. Ah, bagaimana mungkin aku-dengan polosnya-bertanya
perihal seperti itu. itu adalah pertanyaan yang tak perlu jawaban, karena semua
sudah tahu jawabannya. Tapi begitulah, pertanyaan itu keluar begitu saja dari
mulutku.
“Lagian, melihat ayah terus-terusan
keluar masuk rumah sakit, melihatnya kesakitan membuatku tak tega. Sudah lama
ayah menderita, jadi mungkin kembali ke sisi-Nya adalah lebih baik. Ah bukan
mungkin, tapi memang terbaik.” Dia mengoreksi kalimatnya.
Kata orang, cinta itu tak boleh
egois, dan ia berhasil membuatku mengerti bahwa cinta yang ia miliki untuk ayah
bukanlah cinta yang egois. Keikhlasannya menerima kepergian ayahnya adalah
bukti cinta itu. Doanya yang selalu memohon hal terbaik dan tak memaksa adalah
cinta yang tak egois. Oh Alloh...
“Jadi begitulah, Fiy...” Senyumnya
tak pernah hilang. Sesekali ia tertawa melihat tingkah badut Mickiy Mouse
yang menggemaskan ditengah keramaian.
“Selama menunggui ayah di rumah
sakit, aku menjumpai banyak orang yang tak seberuntung kita yang sehat. Disana aku
sering merenung, betapa nikmat sehat itu sangat berharga. Beruntunglah kita
masih deberi kesehatan, yang normal, yang masih bisa makan enak, masih bisa
bernapas tanpa sesak, masih bisa melihat, berjalan, berbicara dengan baik. Juga
bisa sholat dengan gerakan-gerakan sempurna.” Matanya berkaca-kaca ketika mengatakan
kalimatnya yang terakhir.
“Alhamdulillah ya Alloh....” Ujarku.
Segala puji bagi Alloh atas nikmat sehat yang telah Ia berikan. Tapi manusia
memang pelupa akut. Sekarang ia sadar, tapi sedetik berikutnya ia kembali lupa.
Ampunkanlah ya Alloh...
“Kau tahu yang ayah pesankan kepada
kami sebelum meninggal ?”
Aku menggeleng, “Apa?” Tanyaku ingin
tahu.
“Sholat. Kata Ayah, jagalah
sholatmu, jaga ibadahmu untuk bekal akhiratmu kelak. Tegakkan dengan
sebaik-baiknya, mumpung masih sehat dan kuat. Sholatlah dimanapun dan
bagaiamanapun keadaanmu...begitu pesan ayah. Dalam kondisi sakit parah,
betapa ayah tetap sholat dengan susah payah. Maka bersyukurlah karena Alloh
memberi kita sehat dan masih bisa menegakkan sholat dengan gerakan sempurna. Masih
bisa bersujud dihadapan Alloh dengan gerakan sujud yang sempurna....”
Oh Alloh...
Maafkan kami yang masih terlampau
lalai untuk menegakkan sholat dan terlampau lalai bersyukur, padahal nikmat-Mu
tak ternah sedikitpun berkurang, tak pernah sedikitpun usai. Maafkan sebab iman
yang turun-naik layaknya ombak, yang sangka buruk pada-Mu lebih banyak dari
persangkaan baik. Maafkanlah kami, yang masih terbata-bata mengeja cinta kasih
milik-Mu.
~Jazmina Shofiya~
Ahad, 13
Agustus 2017
Pesma. Anshofa